CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.904   -44,00   -0,28%
  • IDX 7.137   -77,78   -1,08%
  • KOMPAS100 1.092   -10,78   -0,98%
  • LQ45 871   -4,94   -0,56%
  • ISSI 215   -3,31   -1,52%
  • IDX30 446   -2,03   -0,45%
  • IDXHIDIV20 539   -0,53   -0,10%
  • IDX80 125   -1,22   -0,96%
  • IDXV30 135   -0,43   -0,32%
  • IDXQ30 149   -0,44   -0,29%

Tax ratio stagnan, pemerintah diminta kaji lagi insentif perpajakan


Selasa, 27 Agustus 2019 / 20:55 WIB
Tax ratio stagnan, pemerintah diminta kaji lagi insentif perpajakan
ILUSTRASI. Kantor pelayanan pajak pratama


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dalam Rancangan APBN (RAPBN) tahun 2020 menetapkan target rasio pajak (tax ratio) sebesar 11,5%. Target ini cukup menantang di tengah pertumbuhan penerimaan perpajakan yang makin melemah dan gonjang-ganjing perekonomian global saat ini.

Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan perpajakan tumbuh pada rata-rata 12,2% pada periode 2010-2014 lalu. Pertumbuhan penerimaan semakin melambat pada periode 2014-2018 yaitu hanya rata-rata 7,3%

Sementara itu, belanja perpajakan pemerintah semakin besar yaitu mencapai Rp 221,1 triliun yang dikucurkan melalui berbagai kebijakan insentif. Belanja pajak tersebut setara dengan 1,5% dari produk domestik bruto (PDB).

Baca Juga: Gali potensi pajak, DPR minta pemerintah maksimalkan akses data keuangan dan AEoI

Sejumlah fraksi DPR RI berpendapat pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap berbagai insentif perpajakan tersebut. Saran tersebut tercetus dari fraksi PAN, PKB, PKS, PPP, dan Partai Hanura dalam paripurna.

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai dua masalah utama pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak di tahun depan ialah kebijakan pajak yang terlampau pro-pebisnis, serta inefisiensi dan tidak efektifnya relaksasi fiskal.

Salah satu insentif yang menurut Huda tidak tepat ialah wacana pemerintah untuk menurunkan tarif PPh Badan. “Hubungan tarif pajak secara umum terhadap penerimaan perpajakan dan penerimaan PPh itu negatif dan bersifat inelastis,” tuturnya.

Baca Juga: DPR kritik tax ratio yang stagnan, simak pejelasan Sri Mulyani

Artinya, penurunan tarif pajak menimbulkan kenaikan penerimaan namun tidak sebesar presentasi penurunan tarif pajak sehingga dampaknya bisa dikatakan tidak efektif.

Begitu pun dengan belanja pajak yang terus naik sejak 2016 hingga 2018 dinilai tak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi maupun penerimaan pajak.

Alih-alih menggelontorkan terlalu banyak insentif perpajakan yang tak diketahui jelas efektivitasnya, Huda menilai pemerintah lebih baik fokus mengakselerasi reformasi birokrasi dan perizinan berusaha, terutama memperbaiki jalur logistik.

“Selama ini setelah belasan Paket Kebijakan Ekonomi, perizinan berusaha belum juga naik secara signifikan. Adanya program OSS pun belum dapat mendongkrak kinerja industri manufaktur. Jalur logistik kita juga terkenal mahal, harusnya ini yang diperbaiki oleh pemerintah,” tutur Huda.

Baca Juga: PPh non-migas jadi kontributor utama penerimaan pajak

Reformasi birokrasi untuk lima tahun ke depan, lanjutnya, membutuhkan akselerasi dengan mendorong kepemimpinan birokrasi yang mumpuni, kreatif, dan inovatif serta perubahan kultur birokrasi yang lebih dinamis untuk menghadapi pelayanan publik yang saat ini banyak menuntut kecepatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×