Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Rencana pemberian insentif berupa pengampunan pajak alias tax amnesty untuk menarik dana-dana masyarakat yang ditempatkan di luar negeri masih digodok. Kementerian Keuangan masih menimban-nimbang payung hukum yang tepat untuk mengatur pemberian insentif tersebut.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, tengah melakukan kajian terhadap dua skema beleid terkait mekanisme pengampunan pajak, yakni apakah akan digabungkan dalam Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) atau diatur dalam undang-undang sendiri yang terpisah dari UU KUP. Oleh karena itu, Kemenkeu masih mengkaji apakah insentif tax amnesty akan diusulkan dalam revisi UU KUP tahun ini atau tidak. "Kalau pun tax amnesty masuk Undang-Undang KUP, bukan berarti besok langsung tax amnesty. Tetapi, andaikata besok mau tax amnesty, kita sudah punya Undang-Undang-nya," kata Bambang akhir pekan lalu.
Kedua opsi yang tengah dijaki tersebut berdasarkan usulan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang menginginkan beleid pengampunan pajak berupa UU tersendiri. Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan, tax amnesty merupakan insentif yang bersifat jangka panjang dan keterkaitannya sangat kompleks. Salah satunya terkait dengan penghapusan pidana pajak. Oleh karena itu, UU khusus tax amesty diperlukan agar aturan beleid tersebut lebih kuat.
Yang jelas menurut kata Sigit, pihaknya tak menjamin pemberian tax amnesty akan dilakukan dalam waktu dekat. Pasalnya, Ditjen Pajak tak ingin menyerah dalam menjaring penerimaan pajak. "Kalau digodok di KUP (tahun ini) bahaya. Orang tidak ada yang bayar pajak nanti karena menunggu tax amnesty," kata Sigit kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Menurut Sigit, pihaknya masih ingin mengandalkan data-data perpajakan. Di sisi lain, ia menyadari sosialisasi mengenai perpajakan kepada masyarakat masih minim. Oleh karena itu, khusus tahun ini Ditjen Pajak akan gencar melakukan pembinaan terhadap wajib pajak demi meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur penghapusan sanksi administrasi berupa pengenaan bunga 2% per bulan atas utang pajak bagi wajib pajak yang melunasi utangnya pada tahun ini. Bahkan, dalam waktu dekat Ditjen Pajak akan menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) yang mengatur mengenai penghapusan sanski bagi wajib pajak yang melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak pada tahun ini.
Sigit menyarankan wajib pajak untuk melakukan pembetulan SPT Pajak pata tahun ini. Sebab, belum tentu pemerintah akan memberikan pengampunan pajak. ‘Tax amnesty itu bentuk menyerah aparat pajak. Kami belum mau menyerah,” kata Sigit.
Untuk memburu wajib pajak, Sigit bilang, Ditjen Pajak akan bekerjasama dengan berbagai institusi seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat sistem pendataan wajib pajak agregat yang akan dilakukan tahun ini. Dengan begitu, Sigit optimis dapat mengejar pajak dan menarik uang-uang masyarakat yang di simpan di luar negeri.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo, menilai tak masalah jika tax amnesty dipisahkan dari UU KUP. Pemerintah tak perlu khawatir masyatakat tak membayar pajak dan akan menunggu tax amnesty. Jika insentif tax amnesty dimasukkan dalam revisi UU KUP tahun ini, pemerintah tak perlu mengatur periode aturan tersebut berlaku.
Yang jelas, pemerintah perlu melakukan kajian lebih dalam mengenai tax amnesty. Walaupun substansinya pengampunan, tax amnesty juga harus bersifat terbatas. "Mirip sunset policy di 2008 atau tax amnesty terbatas repatriasi asset atau uang di luar negeri," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News