Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Wacana pemberian pengampunan pajak (tax amnesty) kembali bergulir. Kementerian Keuangan (Kemkeu) berencana menerapkan tax amnesty pada 2016 untuk menarik masuk aset masyarakat Indonesia yang tersimpan di luar negeri, terutama di Singapura. Tahun ini, pemerintah masih akan menyiapkan landasan hukumnya.
Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menjelaskan, pemerintah sudah menyepakati strategi pemberlakukan pengampunan pajak pada tahun depan. Untuk mendukung program itu, pemerintah harus merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 sebagai perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Kemarin diputuskan bahwa tax amnesty, kalau bisa dimasukkan di UU KUP," kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, pekan lalu.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemkeu menambahkan, di revisi UU KUP nanti, akan dibuat pasal yang khusus mengatur tentang pemberian pengampunan pajak. Kini Kemkeu masih menyiapkan draft revisi UU KUP itu dan akan diajukan ke DPR pada tahun ini.
Mardiasmo masih merahasiakan isi pasal baru itu. Ia hanya menerangkan, tax amnesty bisa dinikmati jika masyarakat membawa masuk aset-asetnya yang selama ini tersimpan di luar negeri. Nantinya, aset yang sudah masuk akan terkena pajak kecil. Namun lagi-lagi, Mardiasmo merahasiakan besaran pajaknya.
Asal tahu saja, di UU KUP pasal 37A sudah mengatur pengampunan pajak, namun tak secara jelas bicara tentang tax amnesty. Kebijakan itu hanya berlaku bagi ingin melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) sebelum tahun 2007 dan bagi wajib pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Pada 2008 kebijakan ini disebut sunset policy.
Bila Kemkeu akan menjalankan tax amnesty, memang butuh payung hukum. Ini sesuai hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada September 2014.
Selain soal pengampunan pajak, revisi UU KUP juga akan memperkuat aspek penyidikan perpajakan. Rencananya, akan ada kewenangan tambahan bagi DJP dalam menyidik kasus pajak. Namun, Mardiasmo juga belum mau mengungkapkannya.
Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo mengatakan, program tax amnesty perlu dukungan sistem dan basis data perpajakan yang bagus. Tanpa dua hal itu, tax amnesty tak akan berjalan efektif.
Pemerintah juga harus teliti memberikan tax amnesty. Pastikan, aset wajib pajak yang mendapat pengampunan pajak itu bukan barang haram. Jangan sampai aset hasil kejahatan juga mendapat tax amnesty. "Semua ini butuh waktu persiapan, paling 2017 baru bisa jalan," kata Prastowo.
Prastowo menyarankan pemerintah menempuh cara lain yang lebih efektif, yakni melalui moratorium. Melalui program ini, wajib pajak akan melaporkan semua asetnya, tapi DJP tidak akan memeriksa SPT wajib pajak, bahkan sanksinya dihapuskan. Jika nantinya diketahui ada kesalahan dalam pelaporan, barulah kena sanksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News