Reporter: Petrus Dabu | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Tidak hanya PT Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) yang mengaku tersanderea oleh kontrak kerja sama pengelolaan sistem air minum di Jakarta. Mitra BUMD milik Pemerintah Daerah DKI Jakarta itu, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang menjadi operator di wilayah barat Jakarta juga mengaku tidak diuntungkan dengan sistem kontrak tersebut.
Manajer Hubungan Masyarakat Palyja Meyritha Maryanie mengatakan, skema yang digunakan dalam sistem kerja sama ini adalah full cost recovery artinya seluruh biaya yang dikeluarkan termasuk investasi hanya bertumpu pada tarif yang ditarik dari pelanggan. Karena tarif air di DKI tidak dinaikan sejak 2007, selaku operator, Palyja tidak bisa agresif melakukan investasi.
Meyritha memberikan contoh, dari 5.300 km panjang pipa eksisting, baru 2.300 km yang sudah diperbaiki. ”Masih di atas 3.000 km yang pipa lama, terdiri dari pipa primer, sekunder, dan tersier,” ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Selasa (23/8).
Dia bilang sejak kontrak mulai berlaku pada 1998 hingga 2010, total dana investasi (capex) Palyja Rp 1,4 triliun. Katanya, idealnya bila melihat contoh di Manila Water (di Filipina), dalam 10 tahun, investasi atau capex-nya Rp 10 triliun. Artinya setahun Rp 1 triliun. "Tapi kita 10 tahun hanya Rp 1 triliun,” ujarnya.
Lanjut Meyritha, Palyja mestinya bisa agresif melakukan investasi baik pemeliharaan jaringan maupun pengembangan jaringan pipa, serta memperluas cakupan pelanggan yang saat ini 5 juta jiwa. Namun, itu tidak bisa dilakukan karena Palyja juga harus menanggung beban pembayaran FPPR (First Party Primary Requirement) yaitu kewajiban kepada PAM Jaya, Badan Regulator, utang PAM Jaya ke Kementerian Keuangan dan sumbangan untuk Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta.
Dari total pendapatan selama 1998 - 2010 sebesar Rp 10,261 triliun, kewajiban yang diberikan ke PAM Jaya, Badan Regulator, dan Pemda DKI Jakarta mencapai Rp 259 miliar atau 2,5% dari total pendapatan. Sedangkan utang ke Kementerian keuangan sebesar Rp 652 miliar atau 6,5% dari total pendapatan.
Selisih dari FPPR merupakan imbalan (water charge) yang diterima Palyja. Imbalan tersebut kemudian digunakan untuk biaya rutin (opex), biaya modal (capex) serta dividen kepada pemegang saham.
Dia bilang karena tarif air di DKI tidak dinaikan sejak 2007, maka terjadilah shortfall atau defisit pembayaran kepada Palyja. Defisit tersebut menurut Meyritha mengurangi imbalan yang harusnya diterima Palyja dari PAM Jaya. Dan pada akhirnya mengurangi biaya investasi yang harusnya bisa ditingkatkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News