kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Target 5 juta sertifikat tanah sulit dicapai


Kamis, 27 April 2017 / 21:09 WIB
Target 5 juta sertifikat tanah sulit dicapai


Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Target Presiden Joko Widodo menggenjot Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat pedesaan dalam rangka reformasi agraria dinilai sulit dicapai. Pasalnya, target 5 juta sertifikat di tahun 2017, sebanyak 7 juta di tahun 2018, dan sebanyak 9 juta di tahun 2019 terlalu tinggi.

Anhar Nasution, Ketua umum forum anti korupsi dan Advokasi Pertanahan dan juga mantan Panja Pertanahan Komisi 2 DPR periode 2004-2009 mengatakan, sulitnya pencapaian target itu terutama karena minimnya SDM di Kementerian ATR/BPN, terutama ketersediaan petugas ukur.

Untuk diketahui bahwa BPN sejak tahun 1984 sudah tidak lagi mendidik dan melahirkan petugas ukur. Diperkirakan saat ini jumlah juru ukur lembaga ini tidak lebih dari 2.000 orang di seluruh Kantor Pertanahan di Indonesia.

Pada umumnya satu orang Juru ukur hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 10 bidang tanah yang dilanjutkan pengukuran, pemetaan, penggambaran  dan pengadministrasian yang memakan waktu sekitar 2 minggu kemudian. Maka bisa diartikan selama 1 bulan hari kerja satu orang juru ukur hanya mampu menghasilkan 8 sampai 10 bidang tanah.

Belum lagi situasi kontur tanah yang bermacam-macam, terdiri dari bukit lembah, sungai bahkan bisa saja rawa-rawa yang sulit dilakukan pengukurannya. “Kecuali si juru ukur hanya melakukan pengukuran dengan menggunakan Google map yang hanya tinggal di tanda tangan di atas meja saja dengan risiko akan terjadi sengketa batas dan tumpang tindih sertifikat di kemudian hari,” ujarnya.

“Jadi sebelum membuat target, seharusnya Presiden meminta menterinya membuat perencanaan dan target kemampuan mereka,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga harus melihat konsekuensi ke depan. Jangan sampai pemberian sertifikat tidak dibarengi dengan pembinaan, sebab bisa digadaikan untuk memiliki kendaraan atau barang konsumsi yang tidak membawa manfaat.

Yang tidak kalah penting, lanjut Anhar, Kementerian ATR/BPN bukan lembaga yang pro aktif seperti kepolisian yang bisa memaksa setiap pengendara wajib  memiliki SIM atau STNK yang jika tidak akan dikenakan sanksi hukum.

Sedangkan BPN hanya lembaga yang oleh UU diamanatkan untuk mengadministrasikan hak keperdataan warga negara yang mau dan merasa membutuhkan untuk di administrasikan guna kepentingan lain bagi mereka.

Sehingga BPN tidak bisa memaksa pemilik tanah untuk mensertifikatkan tanahnya. Karena bisa saja jika tanah mereka sudah bersertifikat, maka mereka berkewajiban membayar pajak. “Jadi bisa dibayangkan bagi rakyat di kampung yang memiliki tanah warisan yang luas dan yang tidak terkelola, lantas dibuatkan sertifikat, dari mana mereka akan mampu membayar pajak setiap tahun,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×