Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, Siti Masitoh | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - China dilanda masalah ekonomi yang parah. Pertumbuhan terhenti, pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi, pasar perumahan runtuh, dan perusahaan berjuang untuk tetap berproduksi.
Melansir CNN, ekonomi terbesar kedua di dunia itu sedang bergulat dengan dampak kekeringan parah. Tidak hanya itu, sektor real estate yang luas menderita akibat dari penumpukan utang yang terlalu banyak.
Situasinya semakin memburuk setelah Beijing menerapkan kebijakan nol-Covid yang kaku. Bahkan tidak ada tanda-tanda kebijakan tersebut bakal berubah tahun ini.
Secara nasional, setidaknya 74 kota telah mengalami penguncian sejak akhir Agustus. Menurut perhitungan CNN berdasarkan statistik pemerintah, kondisi itu mempengaruhi lebih dari 313 juta penduduk.
Goldman Sachs pekan lalu memperkirakan bahwa kota-kota yang terkena dampak penguncian menyumbang 35% dari produk domestik bruto (PDB) China.
Pembatasan terbaru menunjukkan sikap tanpa kompromi China untuk membasmi virus dengan langkah-langkah kontrol yang paling ketat, meskipun ada dampak besar dari kebijakan tersebut.
Baca Juga: IMF dan Bank Dunia Kompak Peringatkan Risiko Resesi Global 2023
Berikut adalah lima penyebab mengapa perekonomian China tengah mengalami masalah pelik seperti yang dilansir Kontan dari BBC:
- Zero Covid mendatangkan malapetaka
Para ahli sepakat bahwa Beijing dapat berbuat lebih banyak untuk merangsang ekonomi, tetapi hanya ada sedikit alasan untuk melakukannya sampai nol Covid berakhir.
"Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings.
- Beijing tidak melakukan cukup kebijakan untuk ekonominya
Pada bulan Agustus, Beijing telah mengumumkan kebijakan mengenai rencana senilai 1 triliun yuan (US$ 203 miliar) untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur dan real estat.
Akan tetapi, hal itu dinilai tidak cukup. Para pejabat dapat berbuat lebih banyak untuk memicu pengeluaran demi memenuhi target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.
- Pasar properti China tengah mengalami krisis
Lemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan tidak diragukan lagi memperlambat pertumbuhan.
Kondisi ini telah memukul ekonomi China dengan keras karena properti dan industri lain yang berkontribusi terhadapnya menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.
- Perubahan iklim memperburuk keadaan
Cuaca ekstrem mulai berdampak jangka panjang pada industri China. Gelombang panas yang parah, diikuti oleh kekeringan, melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing di sabuk tengah pada bulan Agustus.
Ketika permintaan akan kebutuhan AC melonjak, hal itu membanjiri jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air.
Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti pembuat iPhone Foxconn dan Tesla, terpaksa memangkas jam kerja atau menutup total pabriknya.
Baca Juga: 2023 Diramal Terjadi Resesi Ekonomi Global, Ini 3 Langkah untuk Menghadapinya
- Raksasa teknologi China kehilangan investor
Tindakan keras regulasi terhadap raksasa teknologi China - yang telah berlangsung dua tahun - tidak membantu.
Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir. Laba Tencent turun 50%, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.
Investor juga merasakan pergeseran di Beijing di mana beberapa perusahaan swasta paling sukses di China telah mendapat sorotan yang lebih besar ketika cengkeraman Xi pada kekuasaan tumbuh.
Lantas, apa dampak pelemahan ekonomi China terhadap ekonomi Indonesia?
Melansir Kontan.co.id, jika China mengalami resesi, maka perekonomian Indonesia juga akan turut terdampak. Salah satunya di sektor investasi. Apalagi investasi yang masuk ke Indonesia dari Negeri Tirai Bambu ini terus meningkat. Selain itu, dari sisi perdagangan seperti ekspor juga akan turut terdampak.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat China sebagai negara kedua yang paling banyak berinvestasi di Indonesia. Pada kuartal II 2022 tercatat investasi yang masuk senilai US$ 2,3 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Indra Darmawan menilai, masih terlalu dini untuk melihat dampak investasi China di Indonesia dengan kondisi China saat ini.
“Masih terlalu dini untuk dilihat (dampak jika China terjadi resesi) dan harus dilihat terutama di sektor pengolahan logam dasar,” tutur Indra kepada Kontan.co.id, Senin (10/10).
Menurutnya, sepanjang Indonesia terus menggenjot upaya hilirisasi berbasis logam dasar maka investasi China justru akan terus menguat.
Baca Juga: Penjualan Mobil Tesla Produksi China Catatkan Rekor
Indra mencatat, sejak 2019 sampai semester I 2022 Foreign Direct Investment (FDI) dari China berjumlah US$ 16,2 miliar, terbesar kedua setelah Singapura.
Defisit neraca perdangangan RI dengan China mengecil dari US$ 18,4 miliar di 2018 menjadi US$ 2,4 miliar tahun 2021. Ia pun melihat trennya pada tahun ini masih positif.
Meski begitu, Indra tak menyangkal bahwa perlambatan ekonomi China sudah pasti berpengaruh terhadap perekonomian global. Pasalnya, ekonomi di negara ini adalah yang terbesar kedua di dunia dan merupakan mitra dagang penting bagi puluhan negara di dunia.
“Perlambatan tersebut utamanya berasal dari penanganan Covid-19 yang ketat dan permasalahan di bidang properti. Permintaan dari China akan melambat dan berpengaruh terhadap ekspor ke China dari negara-negara mitra dagangnya,” kata Indra.
Meski terlalu dini untuk melihat dampak perlemahan ekonomi China ke Investasi Indonesia, Indra mengatakan pihaknya akan terus waspada. Menurutnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indoensia di 2023 masih dalam batas aman yakni 5,3%.
Sementara dari sisi investasi, selain mencari pasar dan peluang baru, penting juga untuk mengawal dan melayani investasi baru dari negara lain yang akan masuk ke Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News