Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, jumlah importir yang dikenai sanksi 10% akibat terlambat memberikan dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) tak banyak.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kemkeu Robert L Marbun mengatakan, dokumen SKA yang diterima DJBC setiap bulannya sekitar 74.000-87.000 dokumen.
Namun, trennya terus menurun setiap bulan. “Tidak banyak yang kena sanksi. Yang telat sangat sedikit,” kata Robert kepada Kontan.co.id, Kamis (24/5).
Berdasarkan catatannya, persentase importir yang terkena sanksi hanya 0,15% pada April 2018. Angka ini menurun dari Februari 2018 dan Maret 2018 yang sebesar 1,3% dan 0,6%.
Meski begitu, ada pengakuan yang berbeda dari dunia usaha. Ketua umum asosiasi logistik dan forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan bahwa data yang dimiliki oleh DJBC tersebut patut dipertanyakan. Sebab, kenyataannya di lapangan banyak pelaku usaha yang terkena sanksi.
Menurut Yukki, regulasi memang mengatur batas waktu penyerahan SKA untuk barang yang masuk jalur merah atau kuning selama sehari atau sampai pukul 12.00 WIB hari berikutnya sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan penetapan jalur. Apabila melewati batas waktu tersebut, SKA dianggap tidak berlaku lagi.
Namun, di tanda terima yang dimiliki oleh pelaku selama ini masih tidak memiliki jam tertentu untuk penyerahan SKA. “Tanda terima yang diberikan ke kami tidak ada jamnya. Bisakah dibuktikan ini oleh pemerintah?” katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (27/5).
Ia melanjutkan, atas hal ini beberapa pelaku sudah terkena kerugian. Bahkan, ada uang kena sampai berjumlah ratusan miliar.
“Beberapa anggota kami sudah siapkan hukum. Di sana pemilik barang yang industrinya protes besar. Hampir Rp 120 miliar paling besar. Padahal mereka investasi berapa, ekspor berapa. Ini ada jalan keluar,” jelasnya.
Oleh karena itu, solusi yang paling tepat menurut dia adalah sanksi terhadap keterlambatan penyerahan SKA tidak berbentuk Nota Pembetulan (Notul), tetapi sanksi pemblokiran sementara dengan batas waktu lima hari kerja.
Hal ini mengingat mendapatkan tarif preferensi adalah hak importir sesuai dengan kesepakatan internasional.
“Kalau ada yang melanggar kasih saja postpone lima hari. Kedua, dalam PMK 229/2017 diharapkan juga dapat mengatur mekanisme keberatan terhadap pengenaan Notul agar Indonesia tidak dikenakan oleh negara-negara mitra dagang terhadap komoditi ekspor,” kata dia.
Asal tahu saja, dengan aturan PMK itu, jika SKA terlambat, maka dianggap tidak berlaku serta terkena notul dan importir tidak bisa mendapatkan fasilitas tarif preferensi.
Sementara itu, yang masuk jalur hijau batas penyerahannya 3 hari dan bagi mitra utama lima hari. ALFI menyatakan ekonomi biaya tinggi timbul karena importir terkena Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP)/Notul dan harus membayar tarif normal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News