Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa jadi hapal di luar kepala Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hanya Menkeu nampaknya tak sanggup untuk menghapal nama-nama perusahaan negara alias BUMN.
Ini nampak dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin 2/12 kemarin. Dengan lantang, Mbak Ani begitu Menkeu biasa dipanggil mengaku tak tak pernah mendengar PT PANN Multi Finance sebagai BUMN.
Padahal, PANN akan mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) segede Rp 3,76 triliun sesuai APBN 2020. Setali tiga uang, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun juga mengaku tak tahu PANN. "Saya ingin tahu PT PANN ini apa Bu? Saya baru dengar, ini persero?" tanya Misbakhun, Senin (2/12).
Baca Juga: BNI Lanjutkan Restrukturisasi Kredit PANN Pembiayaan Maritim Senilai Rp 724,34 Miliar
Menkeu lantas menjelaskan bahwa PANN adalah singkatan dari Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN). "Saya juga baru dengar sih pak. Saya belum pernah dengar (juga) PT ini," jelas Ani terus terang saat menjawab Misbakhun dalam rapat dengan DPR.
Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan PMN ke PANN akan diberikan secara nontunai sebagai konversi utang Subsidiary Loan Agreement (SLA) menjadi ekuitas.
Tahukan Anda, siapa PANN? PANN sebelumnya memang bernama PT Pengembangan Armada Niaga Nasional atau disingkat PANN. Perusahaan ini memiliki usaha di bidang telekomunikasi navigasi maritim dan jasa pelayaran untuk sektor maritim. Tugasnya antara lain membuat facial monitoring system, monitoring kapal, estimasi keberangkatan dan kedatangan kapal, informasi cuaca, long range identification, termasuk tracking national data center.
Dari pannmf.co.id, perusahaan ini berdiri pada tanggal 16 Mei 1974. Pembentukan perusahan ini merupakan amanat dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II. Pemerintah harus membentuk badan yang bertugas di bidang pembiayaan dan pengembangan armada niaga nasional.
Perserusahaan lantas membentuk cross sectoral holding dan spin off sektor usaha strategis, yakni usaha pembiayaan kapal, shipping, shipyard, manajemen perkapalan, dan pialang asuransi kapal.
Pada 8 Agustus 2012, PANN mendirikan anak usaha PT PANN Pembiayaan Maritim yang kemudian dilakukan pemisahan unit usaha pada 19 Februari 2013. Dengan demikian, bisnis inti perseroan beralih ke anak usahanya, sedangkan PANN menjadi perusahaan induk atau holding company.
Nah, pada bulan September 2019 lalu, Komisi VI DPR meminta agar pemerintah menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum memberikan PMN.
Adapun permintaan PMN bagi PANN merupakan usul dari Kementerian BUMN dalam Surat Menteri BUMN Nomor S-537/MBU/08/2019 tertanggal 19 Agustus 2019. Dalam surat itu, Kementerian BUMN meminta DPR menyetujui pemberikan PMN nontunai Rp 6,64 triliun bagi BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan armada kapal itu.
Usulan PMN nontunai itu terdiri dari US$ 199 juta. Dengan kurs Rp 14.000, nilai ini setara Rp 2,8 triliun. Menariknya, suntikan modal ini untuk menghapus utang perusahaan. Selain itu, Kementerian BUMN juga mengusulkan PMN nontunai sebesar US$ 261 juta atau setara Rp 3,76 triliun untuk pemutihan utang pokoknya.
Di sinilah menariknya, dalam catatan KONTAN, PANN sempat memiliki utang gede ke PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar US$ 261 juta. Utang ini lantas dikonversi menjadi kepemilikan saham anak usaha PANN yakni PANN Pembiayaan Maritim segede 48,4%.
Hingga kuartal I-2019, PANN Pembiayaan Maritim berhasil mencetak laba Rp 1,5 miliar. Adapun laba PANN Pembiayaan Maritim sepanjang tahun 2018 yang lebih mini jika dibandingkan perolehan kuartal I-2019. Ini lantaran ada sanksi suspensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2018.
Kala itu, terhitung sejak 23 Februari hingga 4 November 2018, OJK melarang PANN Pembiayaan Maritim melakukan kegiatan usaha. PANN Pembiayaan Maritim sebagai perusahaan pembiayaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 38 dan Pasal 46 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 29/POJK.05/2014.
Lebih rinci, Pasal 38 mengatur tentang kewajiban perusahaan pembiayaan memiliki rasio ekuitas terhadap modal disetor minimal 50%. Sedangkan Pasal 46 ayat (1) mengatur soal kewajiban perusahaan pembiayaan memenuhi ketentuan gearing ratio paling tinggi 10 kali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News