Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tampaknya, mata uang Garuda memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa kembali ke level di bawah Rp 10.000 per dollar AS. Pasalnya, masih banyak risiko dan pekerjaan rumah yang menekan posisi rupiah.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan tantangan nilai tukar rupiah saat ini adalah bagaimana membuat neraca perdagangan surplus. Surplus harus lebih besar sehingga current account deficit atawa defisit transaksi berjalan lebih kecil.
"Target BI adalah 2,5% dari PDB untuk tahun ini dan mengecil hingga 2% dari PDB untuk tahun depan. Maka dari itu, nilai tukar harus dibuat agar ekspor mempunyai nilai kompetitif dan impor yang terkendali," jelas Mirza.
Tentunya untuk membuat ekspor lebih kompetitif dan impor yang terkendali membutuhkan depresiasi rupiah. Asal tahu, BI mencatat secara rata-rata pelemahan rupiah pada Januari 2014 sebesar 12.075 per dolar AS atau melemah 0,7%. Ini membuat indeks nilai tukar rill efektif tercatat mencapai 94,2 sehingga daya saing ekspor Indonesia relatif tinggi.
Pekerjaan rumah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan masih menjadi soal tahun depan. Di sisi lain, suku bunga Amerika sudah dipastikan akan naik pada triwulan II 2015.
Naiknya suku bunga akan menyebabkan mata uang negara lain mengalami depresiasi. "Sehingga range (rupiah) yang dibuat pemerintah (11.500-12.00) untuk tahun depan adalah target yang masuk akal," ujar Mirza akhir pekan lalu.
Sekedar mengingatkan, pemerintah menyampaikan outlook rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 pada level 11.500-12.000 per dolar AS. Perkiraan rupiah tahun depan tersebut sama dengan perkiraan realisasi rupiah tahun ini yang juga berada pada 11.500-12.000.
Dirinya menekankan yang terpenting dari rupiah adalah bukan soal penguatannya namun kestabilannya. Menguat bukan berarti selalu baik. Kalau nilai tukar tidak stabil maka pengusaha tidak bisa membuat anggaran dan melakukan kegiatannya. Tentu saja kestabilan nilai tukar menjadi tugas dari BI.
Meskipun ada pemerintahan baru di tahun depan, BI belum bisa menjamin akan menguatkan rupiah. Penguatan akan sangat tergantung pada kabinet pemerintahan baru serta program kebijakan yang diambil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News