Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga minyak dunia yang rendah sehingga menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) murah berpeluang menjadi disinsentif pengembangan bahan bakar nabati, misalnya biodiesel.
Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menilai, biodiesel tidak akan mampu bersaing dengan harga BBM, kecuali ada insentif dari pemerintah sehingga produsen bisa mencapai harga keekonomian. Namun begitu, Enny berpendapat insentif dalam wujud subsidi output bukanlah jalan keluar terbaik.
"Kalau tetap modelnya subsidi ya tidak jalan. Tetap akan membebani keuangan negara," kata dia, Selasa (10/2).
Menurut Enny, pemerintah bisa memberikan insentif kepada produsen biodiesel dalam bentuk dukungan infrastruktur. Dengan dukungan tersebut, maka beban atau cost yang ditanggung produsen menjadi berkurang.
"Bukan memberikan insentif di harga jualnya,tapi fasilitas yang bisa menekan cost," ucap dia.
Hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pengembangan bahan bakar gas. Dia melihat, problem pengembangan BBG selama ini adalah infrastruktur. Jika pemerintah bisa mengatasi problem ini, Enny yakin harga BBG jenis CNG bisa lebih murah dari Rp 3.100 per Liter Setara Premium (LSP).
"Jadi, tidak terus-menerus membebani keuangan negara. Kalau pilihannya subsidi, itu hanya bergeser dari subsidi minyak ke subsidi biodiesel. Mestinya kita sudah tobat dengan mekanisme subsidi output, karena itu akan menimbulkan kecanduan dan beban terus-menerus," lata Enny.
Sebelumnya, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat-RI menyepakati usulan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menaikkan subsidi BBN jenis biodiesel dan bioethanol. Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, subsidi BBN biodiesel disetujui Rp 4.000 per liter dan bioethanol Rp 3.000 per liter.
"Kalau untuk ke BBM nonsubsidi atau non PSO (public service obligation) tidak disetujui, tapi kami setujui untuk yang PSO atau subsidi," kata Wardaya, pekan lalu. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News