Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Hasil hitung cepat atau quick count sudah menghasilkan tiga besar pemenang pemilihan umum legislatif (Pileg) 2014, yaitu Partai PDI Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Gerinda. Namun, hasil hitung cepat menunjukkan, suara yang diperoleh parpol pemenang pileg tidak sesuai dengan target masing-masinh partai politik.
Ketua Umum Partai Gerinda Suhardi mengatakan, Gerindra sebenarnya menargetkan bisa memperoleh suara hingga 20%. "Hasil quick count memang tidak sesuai dengan apa yang sudah kami targetkan. Namun jika dilihat dari hasik pemilu 2009 dan 2014 suara yang kami peroleh mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Itu artinya strategi politik kami yang mengusung figur Prabowo berhasil, masyarakat menerima kehadiran prabowo. Faktor lainnya tentu saja penguatan struktur internal bekerja dengan baik," papar Suhardi dalam keterangan resmi, belum lama ini.
Effendi Simbolon Ketua DPP PDI-P juga mengakui hasil perolehan suara partainya jauh dibawah target. "Kami menargetkan perolehan suara hingga 27%, namun jika yang diperoleh hanya 20% saja itu sudah cukup bagus. Perolehan suara PDIP menjadi yang tertinggi karena efek dari calon presiden yang kami usung, Jokowi," jelas Efendi.
Sementara, Wakil Ketua Majelis Partai Demokrat, Marzuki Alie mengatakan partainya beharap bisa meraup suara hingga 20%. Namun isu negatif yang kerap kali menimpa Demokrat menjadi penyebab merosotnya suara. "Kekurangan Demokrat adalah banyaknya isu dan tuduhan negatif yang selalu dibiarkan saja, tidak ditanggapi, sehingga di masyarakat terbangun persepsi negatif itulah yang membuat demokrat terpuruk," ungkapnya.
Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio melihat sesungguhnya komunikasi politik yang dibangun oleh parpol cukup bagus. Namun, ternyata tidak efektif dalam menjaring suara.
"Partai Gerindra misalnya, pencitraan yang mereka lakukan terhadap Prabowo Subianto di media sangat tegas sehingga dapat menutupi kesalahan-kesalahan masa lalu. Namun ini tidak cukup efektif menjaring suara, karena target mereka tidak terpenuhi," tegasnya.
Hendri melanjutkan strategi komunikasi yang dibangun PDI-P dengan mengusung Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sebagai calon presiden juga tidak memberikan suara yang signifikan.
"Ini terjadi karena menurut saya strategi komunikasi yang dibangun dari awal tidak bagus. Ini dimulai ketika Jokowi memproklamirkan dirinya sebagai capres, Jokowi sendirian dan tidak didampingi oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, ditambah lagi dengan perkataan bahwa Jokowi menjalankan mandat partai. Kemudiam saat kampanye, Megawati tidak pernah melakukan kampanye bersama dengan Jokowi, ini menjadi bahasa politik yang tidak baik," pungkas Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News