Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang sejatinya merupakan mekanisme pembiayaan terhadap belanja negara karena penerimaan negara tidak bisa menutup seluruhnya. Namun utang negara, sering kali menjadi sorotan.
“Sekarang semua orang ngurusin utang, semua bicara mengenai itu. Jadi it's good kalau kita punya ownership terhadap keuangan negara,” kata Menkeu dalam acara Memaknai Krisis: Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan; Melintasi 3 Krisis Multidimendi yang diselenggarakan oleh Kontan, Minggu (24/10).
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi keuangan negara, pemerintah telah melaporkannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada setiap bulan kepada media massa dan masyarakat
“Nah kalau hari ini banyak orang yang melihat kepada keuangan negara dengan sangat-sangat detail, itu saya senang banget. Kalau 1997-1998 nggak ada yang lihat APBN, dianggap take it for granted. Di 2008-2009 pun gak ada yang lihat APBN,” ujarnya.
Baca Juga: Jokowi akan hadiri KTT G20 di Roma, Sri Mulyani: Fokus pada pemulihan pasca pandemi
Kata Menkeu, kepedulian masyarakat terkait APBN termasuk utang mencerminkan bahwa masyarakat sama-sama merasa memiliki keuangan negara yang merupakan instrumen untuk penyelenggaraan negara. Yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Menkeu mengatakan lonjakan utang yang terjadi saat ini tidak berlangsung begitu saja. Kondisi utang sudah diperparah sejak puluhan tahun lalu, dan makin buruk saat krisis moneter berlangsung pada 1997-1998.
Menkeu mengatakan krisis moneter berakibat pada perusahaan dan perbankan yang waktu itu banyak meminjam dollar Amerika Serikat (AS) ke luar negeri. Termasuk juga obligasi pemerintah.
Hal tersebut menjadi beban Indonesia karena nilai tukar rupiah terus terkoreksi dari Rp 2.500 per dollar AS sampai dengan sekitar Rp 17.000 per dollar AS.
Untuk menjaga keberlangsungan ekonomi, selain dibebankan dengan lonjakan utang pemerintah, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus-stimulus agar tak semakin banyak perusahaan yang buntung.
“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” ucapnya.
Baca Juga: Tiga kali hadapi krisis ekonomi, Sri Mulyani beberkan dampak dan penanganannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News