kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga kali hadapi krisis ekonomi, Sri Mulyani beberkan dampak dan penanganannya


Minggu, 24 Oktober 2021 / 20:13 WIB
Tiga kali hadapi krisis ekonomi, Sri Mulyani beberkan dampak dan penanganannya


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, Indonesia telah mengalami tiga kali krisis ekonomi yang besar. Yakni, krisis pada tahun 1997-1998 atau krisis moneter, krisis finasial global tahun 2008 dan krisis di tahun 2020 hingga saat ini yang disebabkan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, krisis pertama yang populer disebut krisis moneter telah melanda negara-negara di kawasan Asia yang dipacu fenomena current account deficit (CAD). Bahkan posisi CAD kala itu telah mencapai 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang menandakan keuangan negara dalam kondisi rapuh.

Negara-negara di ASEAN dan Asia Timur termasuk Korea Selatan yang meskipun merupakan pengekspor, tetapi memiliki CAD yang cukup tinggi. Dus, situasi tersebut menjadikan nilai tukar negara-negara yang mengalami krisis moneter melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

“Jadi krisis pertama adalah balance of payment crisis, atau krisis yang di-trigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fixed. Dengan exchange rate yang sangat dalam koreksinya,” kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku 25 Tahun Kontan: Melintasi 3 Krisis Multidimensi yang diselenggarakan Kontan, Minggu (24/10).

Baca Juga: Sri Mulyani: Setiap krisis, the real last resort adalah keuangan negara

Sri Mulyani mengatakan, hal tersebut berakibat pada perusahaan dan perbankan yang waktu itu banyak meminjam dollar AS ke luar negeri. Ini menjadi beban para debitur karena nilai tukar rupiah terus terkoreksi dari Rp 2.500 per dollar AS sampai dengan sekitar Rp 17.000 per dollar AS.

“Kalau utang kita berlipat ganda, walaupun tadinya utangnya sama tapi nilai tukar berubah, maka penerimaan Anda yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali,” ujar Sri Mulyani.

Dengan demikian, sistem keuangan dan perbankan mengalami tekanan krisis moneter, hingga berdampak pada sektor rill. Bahkan, inkator ekonomi, seperti inflasi mencapai 75% akibat pemburukan nilai tukar rupiah.

“Maka kemudian kenanya adalah kepada keuangan negara karena negara yang bail out seluruh sistem keuangan dan menjadi countercyclical seluruh sektor riil yang mengalami krisis luar biasa,” kata Sri Mulyani.

Tak bisa dipungkiri krisis moneter membuat pembangunan tersendat, bertambahnya pengangguran, lonjakan kemiskinan, sampai dengan sosial-ekonomi. Hingga, muncullah era reformasi.

Alhasil, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk membuat regulasi yang dapat mengantisipasi krisis di masa mendatang.

“Dari sana muncullah Bank Indonesia (BI) yang diberikan indepedensi, muncullah sektor yang meregulasi perbankan, muncullah UU bankruptcy yang waktu itu dilahirkan utnuk mengatasi kebangkrutan yang masif, lalu UU mengenai competition, karena waktu itu oligarki,” kata Sri Mulyani.

Baca Juga: Sri Mulyani: Setiap krisis, the real last resort adalah keuangan negara




TERBARU

[X]
×