Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) untuk melanjutkan burden sharing tidak mengindikasikan bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik utang di market.
"Sama sekali tidak ada kesulitan dari penarikan utang, baik berasal dari market domestik, global, bilateral, dan multilateral” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers SKB III, Selasa (24/8).
Sri Mulyani menjelaskan dikeluarkannya SKB III karena Bank Indonesia sebagai otoritas moneter terpanggil untuk ikut berkontribusi membantu dalam penanganan pandemi Covid-19 dikarenakan situasi yang masih extraordinary.
Namun, kerjasama tersebut tetap memperhatikan rambu-rambu dari sisi neraca keuangan dan kebijakan BI. "Pemerintah tetap memiliki pilihan, maka keterpanggilan BI dalam situasi extraordinary ini tetap dalam rambu-rambu BI, namun juga melihat dalam space kemampuan mengurangi beban pemerintah," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Pemerintah minta bantuan BI beli SBN hingga Rp 439 triliun
Bendahara Negara itu menekankan dalam skema SKB III, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dan penanggungan beban bunga oleh BI dipastikan tidak akan mengganggu independensi BI maupun kemampuannya dalam ekspansi moneter.
Sebab, SBN yang dibeli oleh BI adalah SBN yang bisa diperdagangkan (tradable) dan marketable. Selain itu, SBN yang dibeli bisa digunakan BI untuk ekspansi moneter seperti stabilisasi nilai tukar rupiah.
"SKB III ini tetap mengadopsi prinsip yang selama ini kita jaga antara BI dengan pemerintah, yaitu bahwa kami masing-masing akan menjaga agar fiskal moneter menjadi instrumen kredibel dalam menjaga ekonomi," ujar Menkeu Sri Mulyani.
Sementara itu, Sri Mulyani mengatakan tujuan adanya SKB III diarahkan untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan akibat dampak yang ditimbulkan dari pandemi virus corona.
Lebih lanjut SKB III burden sharing mengatur pembelian SBN oleh BI yang terbagi menjadi dua kali pembiayaan. Pertama pembelian SBN oleh BI dalam APBN 2021 sebesar Rp 215 triliun. Kedua untuk APBN 2022 sebesar Rp 224 triliun.
Jumlah penerbitan SBN yang dibeli oleh BI tersebut terbagi dalam dua jenis cluster yakni cluster A mengatur sebanyak Rp 51 triliun nominal SBN yang beli oleh BI pada tahun 2021 dan Rp 40 triliun di tahun 2022.
Baca Juga: Sri Mulyani dan Perry Warjiyo beberkan dampak burden sharing terhadap pasar
Dalam hal ini BI akan menanggung seluruh biaya bunganya. Artinya pemerintah dapat bunga 0% alias gratis. SBN dalam cluster ini akan digunakan oleh pemerintah untuk penanganan kesehatan, termasuk program vaksinasi.
“BI akan berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan jumlah maksimum limitnya Rp 58 triliun 2021 ini, dan untuk 2022 adalah Rp 40 triliun, sesuai dengan kemampuan keuangan dan neraca BI agar tetap terjaga,” jelasnya.
Kedua, kluster B yakni sebesar Rp 157 triliun di tahun 2021 dan Rp 184 triliun di tahun 2022 dari SBN yang dibeli BI, pemerintah akan menanggung biaya bunga sebesar suku bunga BI tenor 3 bulan.
Baca Juga: Simak enam seri SBSN yang akan dilelang hari ini
Utang yang memiliki bunga rendah tersebut direncanakan guna penanganan kesehatan terkait Covid-19 selain yang sudah ditetapkan dalam cluster A. Lalu untuk penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan berbagai program perlindungan sosial bagi masyarakat usaha kecil terdampak.
“Dari sisi penanganan kemanusiaan atau bansos akan menjadi tanggungan pemerintah dengan tingkat suku bunga sebesar suku bunga acuan reverse repo BI tenor 3 bulan. Untuk tingkat suku bunga ini di bawah tingkat suku bunga pasar. Jadi dalam hal ini, meski pemerintah menanggung suku bunganya," ujar dia.
Selanjutnya: Ekonom: Tanpa kerjasama dengan BI, biaya untuk pandemi bisa membengkak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News