kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

S&P turunkan rating Afsel, bisakah rating RI naik?


Selasa, 04 April 2017 / 22:50 WIB
S&P turunkan rating Afsel, bisakah rating RI naik?


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Lembaga pemeringkat kredit internasional Standard and Poor's (S&P) menurunkan peringkat utang Afrika Selatan dari sebelumnya di level BBB- menjadi BB+. Alasannya, pemecatan Menteri Keuangan menimbulkan risiko fiskal.

Bagaimana dengan nasib Indonesia? Apalagi ada indikasi lembaga rating itu enggan menaikkan peringkat Indonesia lantaran berdasarkan hasil conference summary S&P, lembaga itu masih masih menyoroti sejumlah hal.

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Afrika Selatan. Sebab, jika dilihat sejumlah indikator ekonomi, Afrika Selatan cukup jauh tertinggal dengan Indonesia.

Pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi. Andry bilang, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lima tahun terakhir mencapai 5,3% dan selama 10 tahun terkahir mencapai 5,8%. Berbeda dengan Afrika Selatan yang rata-rata pertumbuhan ekonominya selama lima dan 10 tahun terakhir masing-masing hanya 2,1% dan 2,5%.

"Indonesia lebih bagus dibanding Malaysia dan Thailand dan hanya kalah dengan India saja. Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2017 lebih baik" kata Andry saat dihubungi KONTAN, Selasa (4/4).

Kedua, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia tahun lalu yang sebesar 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) dan tahun ini diperkirakan sebesar 2,2% dari PDB. Sementara CAD Afrika Selatan tahun ini diperkirakan mencapai 4,1% dari PDB.

Ketiga, defisit anggaran Indonesia di tahun ini yang diperkirakan 2,46% dari PDB dan tidak akan melewati angka 3% dari PDB sejalan dengan aturan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

Keempat, rasio utang luar negeri Indonesia yang hanya 37% dari PDB. Sementara Afrika Selatan mencapai 44% dari PDB-nya. Kelima, inflasi Indonesia yang berada di kisaran 3%-4%. Sementara inflasi Afrika Selatan mencapai 6,3%.

"Dari data-data, Indonesia sangat layak menggantikan Afrika Selatan. Kalau mereka downgrade Afrika Selatan mudah-mudahan digantikan dengan upgrade peringkat Indonesia," tambahnya.

Lebih lanjut Andry mengatakan, saat ini kondisi yang masih diperhatikan S&P adalah kondisi perbankan Indonesia dengan tren rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) meningkat lantaran pengaruh perlambatan ekonomi. Namun menurut Andry, perbankan sudah melakukan mitigasi risiko.

Andry bilang, S&P seharusnya melihat prospek perbaikan kondisi perbanka Indonesia ke depan. Dengan demikian menurutnya, tak ada alasan bagi S&P untuk menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) di tahun ini.

Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi berpendapat, penurunan peringkat utang Afrika Selatan berkaitan dengan masalah politik yang dapat menganggu pertumbuhan ekonomi dan manajemen defisit APBN Afrika Selatan. Dibandingkan dengan Afrika Selatan, kondisi politik di Indonesia lebih stabil dan fundamental ekonomi Indonesia cukup baik.

Namun Eric tak memproyeksi lembaga tersebut bakal menaikkan peringkat utang Indonesia di tahun ini. Lembaga pemeringkat lainnya yang diperkirakan Eric bakal menaikkan peringkat utang Indonesia karena sebelumnya telah menaikkan outlook peringkat utang Indonesia dari stable menjadi positif, seperti Fitch Ratings, Moody's, dan Japan Credit Rating Agency (JCR).

Sebelumnya, berdasarkan conference summary S&P yang didapat Kontan, lembaga ini masih berat menaikkan rating Indonesia lantaran beberapa faktor. Pertama, meski mulai konsisten, masih perlu kajian lebih lanjut atas keseimbangan fiskal. Kedua, pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia masih lambat.

Ketiga, di sektor perbankan, ada kekhawatiran atas memburuknya kualitas kredit bank akibat utang debitur yang tinggi dan harga komoditas rendah. Keempat, utang dollar AS korporasi tinggi.

Kelima, penurunan keuntungan korporasi dalam jangka panjang karena biaya utang di Indonesia tertinggi dibanding dengan negara selevel, yaitu mencapai 3%. Sementara, di negara-negara ASEAN rata-rata cuma 0,2%-1,2%. Selain itu, tren keuntungan bank di Indonesia juga terus turun.

Terkait pandangan S&P tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan berkomentar. "No comment," katanya Jumat (31/3) lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×