Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia tengah mematangkan rencana pembentukan Family Office guna menarik minat para konglomerat luar negeri untuk menempatkan kekayaannya di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mulai membahas skema insentif pajak yang akan diterapkan.
Salah satu syaratnya adalah investor harus memenuhi kriteria tertentu untuk mendapatkan insentif pajak tersebut.
"Mengenai insentif pajak yang diberikan, ada kewajiban untuk investasi dari uang yang ditaruh di dalam negeri," kata Luhut, saat berbicara kepada media di Kementerian Keuangan, Senin (22/7).
Benchmarking dari Negara Lain
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan pentingnya melakukan benchmarking terhadap Family Office di berbagai negara. Ia menyebutkan bahwa beberapa negara berhasil membentuk Family Office, sementara yang lain gagal.
"Kita akan melakukan benchmarking terhadap pusat-pusat Family Office di berbagai negara untuk belajar dari situ," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Menko Luhut Targetkan Aturan Pembentukan Family Office Rampung Sebelum Jokowi Lengser
Pelajaran dari Insentif Pajak
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki banyak pengalaman dalam memberikan fasilitas seperti tax holiday dan tax allowance. Selain itu, insentif pajak juga diberikan secara komprehensif untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Dalam kerangka peraturan, pemberian insentif perpajakan cukup banyak. Kita lihat kemajuan dari pembahasan Family Office itu sendiri," tambahnya.
Kritikan terhadap Kebijakan Insentif Pajak
Peneliti dari The Prakarsa, Bintang Aulia Lutfi, mengkritik pemberian insentif pajak saat pembentukan Family Office. Menurutnya, meskipun pembebasan pajak bertujuan menarik pemilik modal besar, hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan.
"Perlakuan pemerintah terhadap berbagai kelas ekonomi saat ini tidak menjunjung asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan yang dikatakan dapat 'membawa penerimaan negara' justru tidak adil untuk masyarakat," ujarnya.
Bintang juga menyoroti bahwa orang kaya akan semakin dimanja dengan fasilitas pembebasan pajak jika berinvestasi pada proyek pemerintah. Sementara itu, pemerintah berencana menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 12% pada 2025 yang akan memberatkan kelas menengah-bawah.
Good Governance sebagai Daya Tarik Investasi
Menurut Bintang, Family Office sebenarnya bisa menjadi tawaran bagus jika disertai kemudahan dalam berusaha dan tata kelola pemerintahan yang baik.
“Sebenarnya pemerintah memiliki miskonsepsi bahwa investor akan tertarik dengan kelonggaran yang diberikan. Padahal, pada akhirnya, negara yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam berusaha dan good governance yang baik, justru akan menjadi pemenangnya dalam menarik FDI seperti Singapura dan Brunei Darussalam,” imbuh Bintang.
Indikator Tata Kelola yang Rendah
Prakarsa mencatat skor rata-rata indikator good governance Indonesia hanya 48,40, yang dianggap cukup rendah. Indikator tata kelola ini meliputi efektivitas pemerintahan, kontrol korupsi, stabilitas politik, kualitas regulasi, kepastian hukum, dan kebebasan bersuara.
Jika pemerintah tetap mengandalkan pembebasan pajak sebagai daya tarik dibanding memperbaiki tata kelola negara, hal ini malah akan menarik investor dengan niat buruk seperti pelaku pencucian uang untuk menanamkan uangnya di Indonesia.
Baca Juga: Ngaku ke Jokowi, Luhut Sudah Belajar Family Office dari Abu Dhabi
Kesenjangan Pajak antara Kelas Pekerja dan Orang Kaya
Eka Afrina Djamhari, Research and Knowledge Manager dari Prakarsa, menegaskan bahwa pemerintah harus menerapkan pajak yang lebih berkeadilan antara pekerja dengan orang kaya.
Penelitian Prakarsa tahun 2023 menunjukkan bahwa kelas pekerja dikenakan pajak yang lebih tinggi dibanding orang kaya.
"Kelas pekerja dikenakan tarif pajak antara 0-35%. Sedangkan, orang super kaya hanya dikenakan pajak sebesar 0-25% untuk pendapatan pasif mereka," ujarnya.
Eka juga menyarankan pajak kekayaan sebagai sumber alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara. Hasil penghitungan Prakarsa menunjukkan pajak kekayaan dapat menyumbang sekitar Rp 54 triliun – Rp 155,2 triliun, enam kali lipat dibandingkan realisasi pajak penghasilan orang pribadi pada tahun yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News