Reporter: Dina Farisah | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembelian 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara jatah divestasi tahun 2010 oleh pemerintah harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan MK itu menjadi yurisprudensi bila pemerintah ingin membeli saham perusahaan lain, termasuk saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Akil Mochtar, Hakim MK menjelaskan, selama pembelian saham itu belum masuk ke dalam pos anggaran maka pemerintah wajib meminta persetujuan DPR. "Kalau ternyata Inalum belum dianggarkan maka tetap harus melalui persetujuan DPR dulu," jelas Akil, Selasa (31/7).
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, anggaran untuk pengambilalihan 58,87% saham Inalum dari investor asal Jepang, memang belum masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Maka itu, pemerintah akan segera meminta restu DPR dalam waktu dekat. "Tentu kami akan minta persetujuan DPR," tutur Hidayat kepada KONTAN.
Asal tahu saja, saham Inalum saat ini dimiliki Pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminimum (NAA). Perusahaan alumunium shelter ini telah beroperasi sejak 1975. Indonesia menguasai 41,13% dan sisanya 58,87% dimiliki NAA.
Nah, sesuai perjanjian, kedua pemilik Inalum ini akan mengakhiri kontrak perjanjian kerjasama pada 2013 mendatang. Sesuai perjanjian, Inalum akan melepas sahamnya ke Pemerintah Indonesia.
Taksiran sementara, harga 58,87% saham Inalum milik NAA tersebut sekitar Rp 7 triliun. Selain lewat Pusat Investasi Pemerintah (PIP), pemerintah juga menyiapkan opsi pembelian saham Inalum lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tak mudah
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Melchias Marcus Mekeng mempersilakan pemerintah untuk mengajukan anggaran untuk pembelian saham Inalum. Tapi, belum tentu DPR akan mudah memberi persetujuan.
Ia juga mengatakan, proses persetujuan DPR tidak bisa ditentukan waktunya. Sebab, pembahasan soal anggaran pembelian saham Inalum itu juga harus mendapat restu terlebih dahulu dari Komisi VII DPR dan Komisi XI DPR. Selanjutnya, baru masuk ke pembahasan di Banggar.
Yang jelas, kata Mekeng, yang menjadi pertimbangan Banggar DPR adalah apakah penggunaan APBN untuk pembelian saham Inalum bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. "Kami perlu pendalaman urgensi pengambilalihan saham itu," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menilai, pemerintah tidak siap dalam mengambil alih saham Inalum. Ini ditunjukkan dengan mepetnya waktu antara permintaan persetujuan DPR dengan berakhirnya masa kontrak kerjasama Inalum.
Ada kesan, pemerintah ingin mendesak DPR untuk segera memberikan persetujuan. "Kami tidak bisa dipaksa-paksa," tandas Harry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News