Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah terus mematangkan penyusunan aturan baru terkait pengawasan kepatuhan wajib pajak.
Saat ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) tengah melakukan proses harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.
Menanggapi hal tersebut, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai pemerintah perlu segera menertibkan aturan tersebut.
Menurutnya, ketiadaan aturan yang mengikat telah membuat tata kerja Account Representative (AR) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berjalan tidak seragam dan menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak.
Baca Juga: Duh, Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Nonkaryawan Terendah dalam 5 Tahun
Raden, yang pernah delapan tahun menjabat Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di DJP, menyatakan bahwa hingga saat ini belum pernah ada PMK khusus yang mengatur pengawasan kepatuhan.
Berbeda dengan pemeriksaan pajak yang aturan formalnya sudah ada sejak lama, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK Pemeriksaan Pajak yang eksis sejak 2007.
Dikarenakan tidak ada peraturan tentang pengawasan kepatuhan wajib pajak yang mengikat wajib pajak dan petugas pajak, Raden menyebut sehingga seringkali cara kerja AR berbeda-beda.
"Tidak ada standar profesional pengawasan yang dilakukan oleh AR. Ada AR yang suka meminjam dokumen kepada Wajib Pajak, tetapi banyak AR yang tidak pernah meminjam dokumen kepada Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur tata cara AR bekerja dengan Wajib Pajak," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (5/12/2025).
Ketidakseragaman itu, kata Raden, diperparah dengan praktik interpretasi SP2DK (surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan) yang kian bergeser dari fungsi utamanya.
Baca Juga: Pemerintah Matangkan Aturan Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak
Tahun ini, setiap SP2DK bahkan diberi target rupiah, padahal secara konsep SP2DK bukan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum. Oleh karena itu, SP2DK sudah dimaknai sebagai surat tagihan pajak.
"Kebiasaan seperti itu seharusnya dihentikan. Lebih baik, jika memang DJP melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak," katanya.
Menurutnya, langkah itu jauh lebih memberikan kepastian hukum. Dengan adanya surat ketetapan pajak, wajib pajak bisa menggunakan hak formalnya untuk mengajukan keberatan maupun banding sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Raden menilai ketidakpastian paling banyak dirasakan wajib pajak ketika bersengketa dengan AR. Banyak kasus ditutup tanpa ada kejelasan, atau wajib pajak diminta membetulkan SPT tanpa dasar hukum yang kuat.
Namun di kemudian hari, setelah pergantian AR, persoalan yang sama bisa muncul kembali.
"Banyak kasus, AR sudah menutup permasalahan SP2DK, tapi tiba-tiba terbit instruksi pemeriksaan. Secara ketentuan sampai dengan sekarang, hal seperti ini diperbolehkan," terang Raden.
Akibatnya, wajib pajak merasa sudah menyelesaikan masalah, tetapi tetap menerima SP2 dan berakhir pada tambahan pajak kurang bayar dari tim pemeriksa.
Raden berharap PMK Pengawasan Kepatuhan nantinya menegaskan batasan antara pengawasan formalitas dan pemeriksaan material.
Baca Juga: Belanja Negara Harus Ngebut di Awal 2026 untuk Dongkrak Ekonomi dan Penerimaan Pajak
Pengawasan formal oleh AR, menurutnya, cukup mencakup kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25, pelaporan SPT Masa dan Tahunan, serta penerbitan STP terkait faktur pajak, bukti potong, hingga keterlambatan pembayaran.
Sebaliknya, AR tidak boleh meminjam dokumen wajib pajak untuk menghitung pajak terutang. Bila memang perlu pendalaman data, proses tersebut harus dilakukan melalui mekanisme pemeriksaan yang memiliki standar profesional yang jelas dan dilindungi peraturan perundang-undangan.
Ia menambahkan, AR boleh saja ditugaskan sebagai pemeriksa, namun harus ada Surat Perintah Pemeriksaan yang menjadi dasar pemanggilan dan pengujian.
"Sehingga bagi wajib pajak terdapat kepastian hukum setelah selesai pemeriksaan pajak," katanya.
Sementara itu, Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan bahwa dengan terbatasnya opsi kebijakan, optimalisasi penerimaan dari pengawasan kepatuhan menjadi kunci untuk mencapai target penerimaan tahun depan.
Terlebih lagi, kata dia, beberapa lembaga seperti Bank Dunia melihat jika kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah, dan dari rendahnya ketidakpatuhan tersebut membuat Indonesia banyak kehilangan penerimaan.
"Di luar isi RPMK tersebut, menurut saya memang diperlukan sebuah aturan main terkait pengawasan karena banyak wajib pajak merasa diperiksa terus, mendapatkan surat cinta terus meski dirinya sudah patuh," kata Fajry.
"Makanya banyak pihak yang mengkritik jika DJP masih berburu di kebun binatang. Perlu aturan main agar hal itu tidak terjadi lagi," pungkasnya.
Selanjutnya: Taiwan Perkuat Pemasaran Teknologi Smart Manufacturing di Pasar Industri Indonesia
Menarik Dibaca: 15 Menu Diet Turun Berat Badan untuk Sarapan Pagi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













