Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih terus terjadi. Bahkan Bank Indonesia (BI) menyatakan saat ini pasar keuangan dunia tengah mengarah kepada titik keseimbangan baru. Untuk menjaga nilai tukar rupiah sesuai fundamental, BI mengaku tidak akan segan menaikkan suku bunga acuan.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakaan, pelemahan rupiah juga dialami mata uang lain. Itu merupakan imbas penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia setelah kenaikan yield US Treasury hingga mencapai 3,03%, tertinggi sejak tahun 2013.
"Pelemahan rupiah tidak separah mata uang lainnya," jelas Agus, Kamis (26/4).
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI mencatat kurs rupiah kembali melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) ke level 13.930 pada Kamis (26/4). Nilai tukar itu melemah 42 poin dari sehari sebelumnya di angka 13.888. Dibandingkan penutupan tahun 2017, rupiah sudah melemah 2,74%.
Pelemahan rupiah masih lebih rendah dibandingkan yang terjadi pada ruppe India yang sudah melemah 4,4% sejak akhir tahun lalu hingga Kamis kemarin. Peso Philipina melemah 4,56% dan real Brasil melemah 4,88%.
Namun begitu, Agus bilang, BI tak akan membiarkan rupiah melemah terlalu dalam. Untuk stabilitas rupiah, BI akan berada di pasar guna intervensi. Selain itu, BI mempersiapkan second line of defense bersama dengan institusi eksternal terkait.
Apabila tekanan nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan menganggu stabilitas sistem keuangan, BI siap mengubah suku bunga acuan atau BI 7 Day Repo Rate (BI7DRR) yang sudah bertahan di level 4,25% sejak September 2017.
Dibukanya ruang menaikkan suku bunga sebenarnya sudah diungkapkan sejumlah ekonom. Mereka menyarankan kenaikan suku bunga acuan untuk mengurangi capital outflow yang belakangan terus terjadi.
Ekonom BCA David Sumual berpendapat, strategi BI tersebut bisa melegakan pasar di tengah gejolak yang terjadi belakangan ini. "Paling tidak ada sinyal dari BI bahwa tidak menutup kemungkinan kenaikan bunga acuan. Sebelumnya ini misteri," terang David.
Ke depan, yang perlu diperhatikan adalah imported inflation yang tinggi. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan sisi fiskal seiring potensi pembengkakan bunga utang. Namun Indonesia dinilai masih memiliki buffer fiskal yang besar dengan target defisit APBN 2,19%, lebih rendah dari batas 3%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News