Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kerumitan klasifikasi cukai rokok dinilai jadi salah satu biang keladi masih tingginya konsumsi rokok di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi UI dalam Diskusi Komnas Pengendalian Tembakau, Senin (23/10) di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta.
"Saat ini ada 12 klasifikasi cukai rokok dengan harga termurah yaitu Rp 400, dan harga tertinggi Rp 1.215. Artinya konsumen ada pilihan harga, untuk beli yang murah jika harga yang paling mahal tak terjangkau," kata Abdillah kepada Kontan.co.id, Senin (23/10).
Catatan saja, 12 klasifikasi cukai rokok tersebut ditentukan berdasar tipe rokok yaitu Sigaret Kretek Mesin 3 klasifikasi, Sigaret Putih Mesin 3 klasifikasi, dan Sigaret Kretek Tangan 6 klasifikasi. Selain tipe rokok, klasifikasi cukai ini juga dibedakan berdasarkan jumlah produksi dan harga jual eceran.
Abdillah mengasumsikan, dengan produksi rokok 340 miliar batang pertahun dengan target penerimaan Rp 150 triliun, maka akan ada tambahan Rp 38 triliun dari simplifikasi klasifikasi cukai rokok.
"Seandainya disederhanakan jadi satu tarif termahal Rp 550 perbatang, dan asumsi produksi 340 miliar batang pertahun, hasilnya Rp 188,7 triliun, akan ada tambahan Rp 38,7 triliun," jelas Abdillah.
Abdillah mencontohkan bagaimana Filipina berhasil menggunakan skema simplifikasi cukai rokok ini. Dari yang mulanya miliki empat klasifikasi kini hanya satu. Sementara dana lebih tersebut dapat dimanfaatkan misalnya untuk dana BPJS Kesehatan, dan pemberdayaan petani tembakau.
"Potensinya bisa sampai Rp 38 triliun. 50% bisa untuk bpjs, setengahnya bisa untuk membantu petani tembakau," sambung Abdillah.
Revisi batas atas
Selain menganjurkan untuk menyederhanakan klasifikasi cukai, Komnas Pengendalian Tembakau juga menyarankan agar batas atas cukai rokok yaitu 57% juga dihapuskan.
Prijo Sidipratomo, Ketua Komnas Tembakau pada kesempatan yang sama juga menyebut bahwa batas atas cukai rokok masih sangat rendah dibanding anjuran WHO yang menyarankan angkanya 66% dari harga jual.
"Cukai rokok masih sekitar 33% dari batas atas 57% yang ditentukan UU Cukai. Padahal angka 58% juga masih jauh dari anjuran WHO sebesar 67% dari Harga Jual Eceran (HJE)," kata Prijo.
Tahun depan, cukai rokok sendiri sidah dipastikan naik menjadi 10,04% meski Peraturan Menteri Keuangannya belum terbit.
Kemenkeu mengatakan kenaikan tersebut didasari dari empat pertimbangan yaitu Pertama, aspek kesehatan dan konsumsi rokok yang perlu dikendalikan. Kedua, mencegah peredaran rokok ilegal.
Ketiga, kesempatan kerja masyarakat terutama buruh tani dan buruh perusahaan rokok. Sedangkan pertimbangan keempat, penerimaan negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News