Reporter: Teodosius Domina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Paulus Tannos, Direktur PT Sandipala Arthaputra menceritakan soal penyerangan yang ia terima tahun 2012 serta konfliknya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Bank Arthagraha dalam persidangan KTP-elektronik atau e-KTP pada hari ini, Kamis (18/5).
Pemberian kesaksian Paulus Tannos dilakukan secara jarak jauh lantaran Paulus merasa kalau pulang ke Indonesia jiwanya terancam. Hal ini terkait serangan yang pernah ia terima pada bulan Februari 2012. Ia merasa, serangan diterima terkait permasalahan suplai chip yang akan digunakan dalam proyek e-KTP.
Chip yang dipesan Paulus lewat Oxel System Ltd, ternyata tidak bisa digunakan lantaran hanya bisa dibaca di sistem yang dipakai untuk Surat Ijin Mengemudi (SIM) Polri. Oxel ini ialah perusahaan milik Andi Winata, putra dari taipan Tommy Winata. Lantaran tak sesuai, Paulus enggan memenuhi kewajiban membayar.
"Rumah saya diserang bulan Februari 2012, karena ada masalah dengan chip yang saya pesan dari STM melalui Oxel. Chip tidak dapat dipakai untuk e-KTP karena software yang dimasukkan perusahan untuk proyek Surat Ijin Mengemudi Polri. Sehingga ada persilisihan saya dengan Andi Winata, anak Tommy Winata. Tiba-tiba rumah saya diserang, saya ingin dibunuh. Saya mohon maaf harus melakukan melalui teleconference, tapi karena keselamatan jiwa, terpaksa saya melakukannya di Singapura," ujar Paulus.
Konflik tersebut pula yang membuat Paulus saat ini ditetapkan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang). Ia mengaku ditagih pembayaran Rp 114 miliar yang diambil dari Bank Arthagraha. Bank Arthagraha terlibat karena kala itu Jack Budiman menawarkan diri untuk ikut membiayai.
"Awalnya kita mengharapkan adanya uang muka proyek dan uang muka ini bisa dipakai modal kerja. Tapi kenyataanya, uang muka tidak diberikan. Karena uang muka tidak diberikan, saudara Jack Budiman dari Bank Arthagraha menawarkan ikut saham PT Sandipala," kata Paulus.
Namun sebelum memasukkan saham, harus dilakukan proses due diligence (uji tuntas) dulu. Sambil penyelesaian due diligence, Paulus dititipi uang Rp 100 miliar dari Jack Budiman yang dalam perjalanan akan dipakai sebagai pengukuhan saham Jack.
Kewajiban pembayaran tersebut, menurut Paulus pun harus ditagihkan pada manajemen bersama bersama alias konsorsium PNRI.
"Jadi (uang) dari konsorsium pertama dipotong dulu 2-3% sebagai biaya manajemen kantor bersama. Sisanya dibayarkan kepada Sandipala. Tapi bukannya kepada Sandipala tetpi kepada Bank Artha Graha. Setelah dibayarkan, masih ada sisa Rp 150 miliar, belum dibayarkan kepada Sandipala," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News