Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Karyawan di seluruh Indonesia perlu bersiap menghadapi potongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang lebih besar saat menerima Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran tahun ini.
Hal ini disebabkan oleh penerapan skema tarif efektif rata-rata (TER), yang berpotensi meningkatkan besaran pajak yang dipotong dari penghasilan tambahan seperti THR dan bonus.
Penerapan skema TER ini sejatinya bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, bagi pegawai, aturan ini bisa membuat uang THR yang diterima akan lebih kecil. Dengan momentum ramadan dan lebaran yang semakin dekat, perubahan ini dapat memengaruhi perencanaan keuangan banyak pekerja.
Baca Juga: Kapan THR Cair? Begini Cara Menghitungnya Menurut Aturan Pemerintah
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analyis (CITA) Fajry Akbar menilai, skema TER ini merugikan wajib pajak dari sisi time value of money.Sebab, pegawai harus membauar pajak lebih besar di awal, yakni pada periode Januari hingga November.
"Seandainya jumlah lebih bayar itu ditabung, pastikan akan mendapatkan bunga," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (24/2).
Selain itu, dari sisi urgensi, kebijakan ini juga dinilai kurang tepat karena berdampak langsung pada THR yang akan diberikan bulan depan. Dengan skema TER, potongan pajak terhadap THR menjadi lebih besar, meskipun ada kompensasi di bulan Desember.
“Padahal, wajib pajak butuh uang THR itu untuk hari raya, bukan untuk bulan Desember," katanya.
Baca Juga: Resmi! Sri Mulyani Beri Insentif PPh 21 DTP dengan Gaji Maksimal Rp 10 Juta
Oleh karena itu, skema TER ini perlu direvisi atau dikembalikan ke metode perhitungan sebelumnya agar lebih adil bagi pekerja.
Adapun skema TER ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Lewat beleid tersebut, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.
Nah, penghasilan teratur dan penghasilan tidak teratur yang diterima karyawan tidak dapat dipisahkan dalam perhitungan pajak, sehingga kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pemotongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).
Artinya, jika pegawai tetap menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dan bonus dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto. Untuk menentukan PPh Pasal 21 terutang, penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan.
Misalnya, seorang pegawai tetap bernama Tuan X (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp 8 juta sebulan pada masa pajak Februari 2025. Atas penghasilan bruto tersebut, maka Tuan X dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,5%.
Kemudian, pada masa pajak Maret 2025, Tuan X menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterima Tuan X menjadi Rp 16 juta. Oleh karena itu terdapat perubahan tarif, di mana tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto senilai Rp 16 juta adalah 7%.
Hanya saja, DJP Kemenkeu memastikan penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.
Hal ini dikarenakan tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari hingga November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari hingga November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
Selanjutnya: Update Grafik Harga Emas Antam, Hari Ini Kemana Bergerak ? (24 Februari 2025)
Menarik Dibaca: TikTok Bagikan Tips UMKM Bisa Dongkrak Penjualan di Bulan Ramadan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News