Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Untuk mengejar penerimaan perpajakan hasil tembakau, Kementerian Keuangan akan menarik pajak pertambahan nilai (PPN) di setiap mata rantai industri rokok, dari hulu sampai hilir. Saat ini, PPN itu hanya diambil di tingkat produsen rokok.
Pengenaan PPN di setiap mata rantai ini akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN di tingkat produsen, dari saat ini 8,7% menjadi 9,1%. Pemerintah juga akan menarik PPN rokok di tingkat konsumen sebesar 10%.
Industri rokok memiliki waktu dua tahun ke depan untuk membenahi mata rantai produksinya.
Menurut Kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, rencana ini diberlakukan seiring dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan tersebut menyatakan penerapan pungutan PPN rokok tidak sesuai dengan tarif yang benar.
"Ini akan kami perbaiki. Teman-teman industri sedang mempersiapkan jalur distribusinya," ujar Suahasil, Selasa (20/12).
Idealnya, menurut Suahasil, PPN rokok ditarik dari di industri hulu sampai hilir seperti barang lain. Kondisi selama ini, sistem pemungutan PPN industri rokok tidak normal. Sebab hanya ditarik di tingkat produsen atau sistem single stage.
"Yang lazim setiap kali transaksi bayar 10%. Namun sistem sekarang ditarik di tingkat produsen dan tarifnya 8,7%," katanya.
Tunggu menteri
Langkah ini selain menambah penerimaan negara juga bisa membantu pengendalian konsumsi rokok. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga bisa mengetahui apakah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari rantai produksi rokok sudah patuh membayar pajak atau belum.
Sebab, jika penarikan PPN sudah berjalan normal, para pelaku industri harus menyiapkan pajak masukan dan pajak keluaran dari mata rantai produksinya. "Berarti semua yang terlibat distribusi harus memiliki NPWP yang benar. Ini semua harus kita enforce," katanya.
Menurut Suahasil, pemerintah akan membidik tarif PPN sebesar 9,1% yang akan dikenakan kepada para distributor rokok. Namun angka pastinya masih dipertimbangkan dan menunggu persetujuan Menteri Keuangan.
Diharapkan pembahasan soal tarif ini rampung dalam beberapa minggu ke depan. Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany berharap, pengenaan PPN rokok akan akan menurunkan tingkat konsumsi rokok masyarakat Indonesia yang saat ini masih tinggi.
Dengan perokok mayoritas di rentang umur 15-19 tahun, menurutnya hal ini terjadi karena harga rokok masih terlalu murah. "Rp 400 triliun setahun habis buat beli rokok," katanya.
Untuk mengendalikan konsumsi, Hasbullah mengaku pernah melakukan simulasi dan menemukan bahwa penetapan harga rokok yang paling tepat yaitu Rp 50.000 per bungkus. Dengan harga itu maka bisa menurunkan konsumsi rokok cukup besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News