CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Selangkah lagi Indonesia punya aturan CFC


Kamis, 13 Juli 2017 / 22:02 WIB
Selangkah lagi Indonesia punya aturan CFC


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) merampungkan revisi aturan terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak Indonesia (Controlled Foreign Company/CFC).

Aturan yang direvisi yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 256/pmk.03/2008. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo mengatakan, dalam beberapa pekan ke depan, aturan tersebut akan diberlakukan.

“Beberapa minggu lagi (Indonesia) akan punya aturan CFC,” kata Suryo saat menjadi pembicara dalam Konferensi Pajak Internasional di Jakarta, Kamis (13/7).

Revisi ini pada dasarnya untuk mencegah wajib pajak melakukan penghindaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dari perusahaan di negara yang tingkat pajaknya lebih rendah.

Terpisah, Direktur Perpajakan Internasional John Hutagaol bilang, revisi dari aturan tersebut memang sudah dilakukan. Namun sifatnya belum final karena belum disahkan.

“Iya memang sudah ada. Semoga minggu-minggu ini, tetapi belum ditandatangani,” ujarnya John.

Sebelumnya Suryo pernah menjelaskan bahwa dengan aturan yang baru, pemerintah akan memperjelas definisi CFC. Sebab definisi CFC dalam undang-undang (UU) memang belum ada.

“CFC akan didefinisikan dalam revisi peraturan yang sedang disusun. Jadi, CFC adalah perusahaan luar negeri yang bisa dikontrol (oleh WP Indonesia). Ini kami definisikan, tetapi secara prinsip adalah bagaimana kita mengatakan bahwa ini foreign company adalah di bawah kontrol Anda, di mana pun juga,” jelasnya.

Suryo menyebutkan, selama ini banyak orang yang berinvestasi di luar negeri dengan tujuan mendapatkan return yang nantinya berujung pada pengenaan dividen. Namun, sayangnya dividen itu tak pernah sampai ke Indonesia.

"Yang jadi perhatian kami itu adalah dia investasi di berbagai negara tapi tidak pernah menerima dividen, dia menggunakan SPV untuk menerima dividen. Karena kan dividen itu sudah dipotong pajak oleh negara yang bersangkutan," katanya.

Nah, salah satu poin yang direvisi menurut dia adalah periode waktu wajib pajak dianggap menerima dividen. Dalam PMK 256, pemerintah menetapkan saat diperolehnya dividen oleh WP dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri, selain yang menjual sahamnya di bursa efek, adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh badan usaha untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Atau, pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri itu tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT PPh atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT PPh. Dividen itu wajib dilaporkan dalam SPT Pajak Penghasilan di tahun pajak saat dividen diperoleh.

“Yang akan kami akan ubah adalah kapan Anda dianggap menerima dividen? Di titik mana kami akan mengatakan bahwa WP ini dianggap memiliki dividen di suatu periode tertentu,” ujarnya.

Selain itu, syarat kepemilikan saham 50% olah WNI di perusahaan luar negeri yang ada dalam PMK yang merupakan turunan dari UU Pajak Penghasilan (PPh) pun akan dikaji ulang lebih spesifik. Sebab di negara lain, kepemilikan 10% saja sudah bisa dimiliki kewenangan bagi pemerintah untuk mengontrol akivitas dan pajaknya.

"Untuk sepanjang PMK masih bisa cover, ya nanti cover. Tapi kalau UU mau mengubah dari 50% jadi 10%, ya UU kita perbaiki dulu. Revisinya terkait waktu dan 50% yang dimaksud seperti apa sih detailnya," jelas Suryo.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, tanpa revisi di tingkat UU, maka batasan 50% tersebut tidak bisa diganti di level PMK. Pasalnya UU sendiri telah memagari. “Batas 50% tidak bisa diganti di PMK, kalau mau pakai Perppu tapi ini sifatnya tidak memaksa,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×