Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengharuskan beberapa pekerjaan dilakukan dari rumah atau work from home (WFH). Tak terkecuali bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani curhat selama WFH hampir tiga bulan, dirinya mengaku bekerja lebih lama dari jam kerja normal di Kementerian Keuangan bahkan hampir 24 jam. Meski dalam situasi normal, kadang Sri Mulyani pun juga sudah bekerja lebih lama, hanya saja ketika WFH pekerjaannya menjadi padat.
“Tidak ada bedanya antara home sama work, sehingga kerjanya luar biasa panjang. Dari survey rata-rata pegawai di Kemenkeu ini ada 24,84% yang mengaku lebih banyak bekerja dari jam kerja normal. Itu saya termasuk di dalamnya,” kata Sri Mulyani dalam Pertemuan Internal Seluruh Pegawai Kemenkeu via daring, Jumat (19/6).
Baca Juga: Sri Mulyani optimistis penerimaan perpajakan 2021 bisa tumbuh 10,5%
Sri Mulyani mengaku selama WFH berbagai agenda rapat pertemuan jauh lebih padat. Antara satu agenda ke agenda lain berada dalam jeda waktu yang singkat. Sebab, tidak dibutuhkan mobilisasi yang menghabiskan waktu di jalan, semua pertemuan via daring.
“Bahkan kadang tidak ada jedanya, karena orang menganggap selama WFH tidak butuh waktu di jalan, hanya pindah dari satu zoom ke another zoom,” curhat Menkeu.
Meski begitu, sebagai bendahara negara, dalam setiap rapat selama WFH, Menkeu musti tetap menyiapkan materi presentasi yang lengkap dan kredibel.
“Karena setiap apa yang disampaikan akan menyangkut keuangan negara,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan memang dalam situasi pandemi ini mengharuskan pemerintah kerja lebih keras. Sebab, corona virus disease 2019 (Covid-19) telah berdampak terhadap bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan. Dus, pengelolaan keuangan negara harus lebih prudent untuk memitigasi dan merancang pemulihan ekonomi.
Makanya, Kemenkeu membuat instrumen fiskal yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dirancang lebih fleksibel.
Defisit APBN 2020 yang sebelumnya ditargetkan 1,75% terhadap produk domestik bruto (PDB) melebar menjadi 6,34% terhadap PDB.
Setali tiga uang, Kemenkeu musti merevisi APBN 2020 baik dari sisi pendapatan, belanja, pembiayaan, maupun asumsi outlook makro ekonomi. Maka dari itu keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 sebagai respon kebijakan pemerintah menghadapi dampak Covid-19.
Kemudian diturunkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 sebagai postur revisi APBN 2020. Ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 sebagai payung hukum pemulihan ekonomi nasional.
Menkeu juga curhat, dalam kondisi normal, penyusunan APBN memakan waktu delapan hingga sembilan bulan. Nah, karena pandemi, pemerintah dituntut meramu revisi APBN tahun ini dengan lebih cepat.
“Carena Covid-19, kita ditantangan untuk merespons dampak Covid-19 melalui APBN revisi jadi dalam hitungan minggu,” ujar Menkeu.
Baca Juga: Sri Mulyani prediksi konsumsi rumah tangga di kuartal II tak akan bertumbuh
Padahal di tahun lalu, ada optimisme ekonomi dalam negeri yang lebih sehat. Keseimbangan primer diproyeksikan sehat pada 2020. Hanya saja, karena pandemi penerimaan negara melorot, sementara belanja negara membengkak.
“Sejak aktivitas ekonomi mulai terhenti, penerimaan pajak mengalami tekanan. Dari bea cukai, ada pertimbangan harus memfasilitasi impor alat kesehatan dan membatasi ekspor untuk kebutuhan dalam negeri. Ditambah kondisi market yang bergejolak,” kata Sri Mulyani.
Informasi saja, Kemenkeu menganggarkan penangan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun. Dana tersebut diperuntukkan bagi sektor kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun, insentif usaha senilai Rp 120,61 triliun, UMKM sebesar Rp 123,36 triliun, pembiayaan korporasi sejumlah Rp 53,57 triliun, dan sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda yakni Rp 106,11 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News