kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sederet Kebijakan Pajak Ini Dinilai Bebani Masyarakat, Ada PPN 12% Hingga TER


Kamis, 21 November 2024 / 10:04 WIB
Sederet Kebijakan Pajak Ini Dinilai Bebani Masyarakat, Ada PPN 12% Hingga TER
Warga berbelanja kebutuhan di salah satu perusahaan ritel di Jakarta, Minggu (25/02).Kalangan masyarakat beramai-ramai mengungkapkan kekhawatirannya terkait sederet kebijakan pajak yang dirasa semakin membebani.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kalangan masyarakat beramai-ramai mengungkapkan kekhawatirannya terkait sederet kebijakan pajak yang dirasa semakin membebani, terutama bagi kalangan pekerja di kelompok menengah.

Keluhan tersebut disampaikan langsung melalui media X, di mana mereka menganggap beberapa kebijakan pajak yang dikeluarkan pemerintah semakin menambah beban mereka. Belum lagi kebijakan pajak tersebut juga diikuti dengan pungutan lainnya yang turut mempengaruhi income yang didapatkan.

Adapun sejumlah kebijakan pajak yang dimaksud adalah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025, pemberlakuan tarif efektif rata-rata (TER), hingga pajak natura/kenikmatan.

1. Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12% di 2025

Banyak masyarakat yang menyampaikan keluhannya terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025. Dalam postingan di Media X, mereka menganggap kebijakan tersebut akan menambah beban hidup, terutama bagi mereka yang sudah menghadapi kenaikan harga barang dan jasa yang terus meningkat.

Baca Juga: Pengusaha Elektronik Sebut Kenaikan PPN 12% Akan Turunkan Permintaan Pasar Elektronik

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% memang akan menambah beban bagi masyakat, dikarenakan berpotensi akan mengerek harga-harga lebih mahal, utamanya harga barang atau jasa kena pajak yang terutang PPN.

"Perlu diingat, kenaikan dari 11% menjadi 12% artinya nilai PPN yang akan dipotong naik 9%. Yang perlu diwaspadai menurut saya bukan soal hitung-hitungan kenaikan PPN-nya, tetapi dampak sosial yang ditimbulkan," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Rabu (20/11).

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institite Ariawan Rahmat menegaskan bahwa kebijakan PPN 12% perlu dikaji ulang mengingat akan memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian Indonesia.

Baca Juga: Tarif PPN 12% Pengaruhi Minat Investor, Pemerintah Siapkan Insentif Pemanis

"Konsumsi barang dan jasa menurun, yang kemudian akan berimbas pada penurunan produksi akibat menurunnya demand, lalu akan ada PHK karena perusahaan tak sanggup lagi menggaji karyawan," kata Ariawan.

2. Kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER)

Pemerintah sudah menerapkan skema perhitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata berlaku mulai Januari 2024. Sayangnya, hampir setahun kebijakan ini berjalan, banyak masyarakat mengeluhkan mengenai skema ini.

Melalui media X, banyak warga yang mengeluhkan mengenai besarnya potongan pajak yang membuat gaji, uang THR maupun bonus yang diterima lebih sedikit dari ekspektasi awal. Semakin tinggi penghasilan bruto si karyawan tetap, maka akan semakin terdampak akibat skema baru tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan bahwa dengan jumlah potongan pajak yang besar karena adanya skema TER ini pada saat mendapatkan bonus atau THR, maka jumlah income yang akan diterima akan lebih sedikit sehingga akan mempengaruhi konsumsi masyarakat.

Baca Juga: Sebelum PPN Naik 12%, Ini Promo & Harga Mobil Hyundai November 2024

"Kalau potongan pajaknya yang lebih besar akan menahan konsumsi, karena kita lihat tadi item-item potongannya apa pun itu kemudian akan menyebabkan disposable income-nya juga akan relatif mengecil sehingga bisa menahan konsumsi," kata Andry dalam Konferensi Pers secara virtual, Rabu (20/11).

Sementara itu, Wahyu menambahkan bahwa skema TER pada dasarnya merupakan upaya untuk memudahkan pemotong pajak dan otoritas pajak dalam menghitung PPh terutang.

Namun, bagi Wajib Pajak ada potensi besaran pajak yang dipotong per bulannya lebih besar dibandingkan jika menggunakan penghitungan sebelumnya yang berbasiskan penghasilan neto/penghasilan kena pajak.

"Tetapi dalam setahun harusnya sama saja, karena akan ada penyesuaian di akhir masa pajak terakhir (Desember). Jadi, kalau ternyata lebih bayar, Wajib Pajak masih bisa memperoleh kelebihannya," kata Wahyu.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebenarnya menegaskan bahwa penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 masa pajak Januari hingga November.

Baca Juga: Harga Meningkat, Nilai Ekspor Kopi Indonesia Melesat

Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari hingga November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.

3. PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) Naik Menjadi 2,4%

Sejalan dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%, tarif PPN KMS juga bakal naik menjadi 2,4% pada tahun 2025 dari sebelumnya 2,2%.

Merujuk pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2022, tarif PPN untuk KMS dihitung berdasarkan besaran tertentu yang merupakan hasil dari perkalian 20% dengan tarif PPN umum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN.

Dalam PMK 61/2022, aturan tersebut berlaku dalam beberapa syarat. Bangunan yang dibangun dalam KMS harus memiliki konstruksi utama yang terdiri dari bahan seperti kayu, beton, batu bata, baja dan/atau sejenisnya, serta diperuntukkan untuk tempat tinggal atau kegiatan usaha.

Kemudian, kriteria lainnya yang menentukan bangunan tersebut masuk dalam kategori KMS adalah luas bangunan minimal 200 meter persegi. Artinya, jika bangunan tidak mencapai luas tersebut, maka tidak akan dikenakan PPN atas KMS sebesar 2,4%.

Baca Juga: 2025 PPN Akan Naik Jadi 12%, PPN Di Indonesia Lebih Tinggi Dari Negara Tetangga

Adapun pembangunan bisa dilakukan secara sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu, atau secara bertahap selama tenggat waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari dua tahun. Jika waktunya lebih dari dua tahun, maka pembangunan tersebut dianggap sebagai proyek terpisah.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa kenaikan tarif tersebut akan menambah beban terutama bagi masyarakat yang ingin membangun rumah sendiri. 

Hanya saja, menurutnya besarnya peningkatan beban ini akan terbatas pada kelompok tertentu saja.

"Jika dibandingkan dengan rencana kenaikan tarif PPN 12%, tentu magnitude peningkatannya relatif lebih kecil karena terfokus pada satu jasa saja, dalam hal ini pembangunan rumah," kata Yusuf.

Baca Juga: Tarif PPN Naik Jadi 12%, Inflasi Bisa Bertambah 0,3%

Menurutnya, bagi kelompok kelas menengah yang sudah menanggung berbagai kewajiban pajak lainnya, tambahan beban pajak tersebut dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menabung dan berinvestasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×