kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Seberapa efektif paket stimulus ekonomi? Begini penjelasan ekonom


Jumat, 13 Maret 2020 / 19:10 WIB
Seberapa efektif paket stimulus ekonomi? Begini penjelasan ekonom
ILUSTRASI. Tumpukan Petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Minggu (16/3).


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengumumkan satu lagi paket kebijakan stimulus untuk meredam dampak wabah Covid-19 terhadap kinerja perekonomian di dalam negeri.

Paket stimulus kedua ini difokuskan untuk mendorong sektor industri pengolahan yang mengalami disrupsi produksi, baik melalui stimulus fiskal dan nonfiskal dengan estimasi anggaran sebesar Rp 22,9 triliun. 

Baca Juga: Fundamental rupiah tergerus kepanikan penyebaran wabah corona

Sebelumnya, pemerintah telah lebih dulu mengeluarkan paket kebijakan stimulus pertama yang lebih ditujukan untuk sektor pariwisata dan daerah-daerah yang terdampak oleh sentimen wabah Covid-19. Paket stimulus perekonomian pertama itu mengalokasikan anggaran sebesar Rp 10,3 triliun. 

Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi menilai, pemerintah memang sangat perlu mengeluarkan paket kebijakan stimulus yang kedua ini untuk melindungi industri yang terkena dampak negatif. 

“Walau nanti efektivitasnya baru bisa terlihat belakangan karena perlu waktu,” tutur Eric kepada Kontan.co.id, Jumat (13/3). 

Baca Juga: Pembebasan iuran BPJS Ketenagakerjaan hanya untungkan pengusaha, rugikan pekerja

Yang terpenting saat ini, lanjut Eric, pemerintah mesti mampu menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi bisa tetap tumbuh dengan baik di tengah ancaman perlambatan ekonomi global.

Relaksasi pemerintah terhadap pajak karyawan (PPh 21) dinilai cukup mengakomodasi meski cakupannya masih pada pekerja di sektor industri manufaktur saja.  “Jika memang diperlukan, mungkin cakupannya bisa diperluas,” sambung Eric. 

Sementara, relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor dan pasal 25, serta relaksasi percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) mestinya juga cukup untuk menopang kinerja industri manufaktur yang tertekan. 

Berbagai stimulus fiskal dan nonfiskal tersebut setidaknya dapat menjaga pertumbuhan ekonomi serta mencegah risiko pemutusan hubungan kerja (PKH) karyawan secara massal. 

Baca Juga: IHSG menguat 0,24% pada penutupan perdagangan Jumat, ini 10 saham yang dilego asing

Meski Eric mengingatkan, kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah ini di sisi lain akan menggerus potensi penerimaan negara, terutama dari sisi perpajakan. 

Hal ini pun sejatinya sudah diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri, yang memproyeksi defisit APBN 2020 bisa melebar dari asumsi awal 1,76% terhadap PDB menjadi sekitar 2,5% terhadap PDB. 

Untuk itu, Eric menilai pemerintah perlu mempertimbangkan merancang APBN perubahan (APBN-P) untuk tahun 2020. Apalagi, berbagai indikator makroekonomi dalam APBN kini bergerak semakin jauh dari asumsi pemerintah. 

Baca Juga: Tak berdaya, rupiah ditutup anjlok 1,73% ke Rp 14.778 per dolar AS

“Tahun ini, APBN-P menjadi urgensi karena adanya wabah Covid-19 dan harga minyak mentah dunia yang juga jatuh,”  tandas Eric. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×