Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, jika berbicara soal transisi energi, ada dua aturan yang menjadi landasan Hukum. Keduanya adalah UU Migas dan UU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga kini belum kunjung diselesaikan.
“Sayangnya sudah menjadi kebiasaan di kita sepertinya, kita ramai-ramai di ujungnya atau permukaan saja tapi fundamental gak kesentuh. Padahal kalau pemerintah komitmen harusnya ada payung hukum dari awal, jangan nunggu sampai ada pro-kontra setelah semua sudah jalan baru menjadi concern,” ujar Komaidi.
Baca Juga: Masuk Era Senjakala Industri Migas, Revisi UU Migas Didesak Segera Dilakukan
Khusus untuk RUU Migas, Komaidi menambahkan beleid tersebut fundamental untuk investasi dan target lifting, sehingga perlu segera diselesaikan. Dia mencatat, proses UU Migas ini mulai dibahas dari 2008 dan sudah beberapa kali dibatalkan atau mengalami proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
“Kenapa ya selama 14 tahun ini gak selesai-selesai? padahal kalau bicara migas sebagai komoditas strategis harusnya justru menjadi kesadaran bersama untuk segera diselesaikan RUU-nya karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya demikian sudut pandangnya,” jelas Komaidi.
Belum lama ini, Komisi VII DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Pada forum ini kedua pihak bersepakat akan segera merampungkan Revisi UU Migas.
Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Golkar, Maman Abdurrahman, mengatakan RUU Migas akan dijadikan sebagai UU inisiatif DPR agar pembahasan bisa cepat rampung, paling lambat di Juni 2023.
"Jadi selesai sudah menjadi produk undang-undang, segera diselesaikan selambat-lambatnya bulan Juni 2023 sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia," tutup Maman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News