Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) menyulut kekhawatiran atas kondisi utang luar negeri (ULN) swasta Indonesia. Hari ini, Selasa (4/8) kurs Bank Indonesia menunjukkan rupiah di Rp 13.495 per dollar AS, sedangkan di pasar spot kemarin mencapai harganya mencapai Rp 13.510 per dollar AS.
Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan, ULN swasta kini mulai menghawatirkan setelah rupiah menyentuh Rp 13.500 per dollar AS.
Kekhawatiran makin besar karena rasio antara pembayaran pokok dan bunga utang terhadap penerimaan transaksi berjalan atau debt service ratio (DSR) telah melebihi batas aman 50%, yaitu 56%.
Artinya ekspor terus mengalami penurunan, tapi nilai utang meningkat. Itu juga berarti kemampuan bayar utang Indonesia makin melemah. “Sebab saat ini harga komoditas terus melemah. Yang perlu dikhawatirkan adalah perusahaan yang memiliki utang luar negeri, tetapi tidak memiliki pendapatan dollar,” kata David, akhir pekan lalu.
Di sisi lain, aturan lindung nilai (hedging) Bank Indonesia (BI) juga belum efektif. Hingga saat ini, baru sekitar 17%-20% perusahaan pemilik utang valas yang melakukan hedging.
Dengan rupiah yang melemah, perusahaan menghadapi posisi dilematis karena biaya hedging lebih mahal. Perusahaan bisa memilih restrukturisasi dengan menambah utang, namun jika tidak memiliki kemampuan bayar utang, bisa pailit.
Data Bank Indonesia (BI) per Mei 2015 menunjukkan, posisi ULN Indonesia tercatat US$ 302,3 miliar. Jumlah itu terdiri ULN publik (pemerintah dan BI) sebesar US$ 133,5 miliar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta mencapai US$ 168,7 miliar (55,8% dari total ULN).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Sagara menjelaskan, pelemahan rupiah disebabkan penguatan mata uang dollar AS terhadap mata uang negara lain. Dollar AS belakangan terus menguat akibat adanya peluang kenaikan suku bunga AS yang lebih dekat dan besaran kenaikan yang lebih tinggi daripada diperkirakan.
Tirta mengakui, DSR utang valas RI di kuartal I-2015 sebesar 56,08%. Ini mencakup kemampuan pembayaran utang jangka pendek, misalnya bagi perusahaan yang menggunakan dokumen letter of credit (L/C) ekspor. Utang itu rata-rata berjangka tiga bulan.
Kini BI mendorong ekspor produk hilir agar nilai ekspor meningkat agar DSR mengecil. "DSR 56,08% di tier-2 (jangka pendek) memang kurang sehat. Tetapi DSR tier-1 masih sebesar 22,44%, masih oke," katanya, Senin (3/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News