kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

RI Diminta Mendefinisikan Kembali Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif, Ini Alasannya


Selasa, 09 Januari 2024 / 16:54 WIB
RI Diminta Mendefinisikan Kembali Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, menyampaikan pencapaian kinerja diplomasi Indonesia dalam sembilan tahun terakhir selama Ia menjabat sebagai Menteri Retno Marsudi mengklaim berhasil mengukuhkan posisi Indonesia di pasar global. Ia juga menyampaikan hal ini saat menggelar konferensi pers di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Senin (8/1/2023) tempat bersejarah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pertama yang digelar tahun 1955. FOTO: KONTAN / Syamsul Ashar


Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Habib menilai, pemerintah perlu mendefinisikan ulang soal kebijakan luar negeri bebas aktif.

Pernyataan itu merespon meningkatnya rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia.

"Idealnya harus berpikir strategis dan mendefinisikan ulang kebijakan luar negeri yang bebas aktif itu seperti apa di tengah kompetisi yang ada," kata Habis saat dihubungi kontan, Selasa (9/1).

Baca Juga: Prabowo Siap Lanjutkan Sistem Politik Luar Negeri Bebas Aktif di Kancah Global

Menurutnya, kebijakan bebas aktif sejauh ini hanya sebatas narasi yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi rivalitias AS dan Tiongkok.

"Bebas aktif hanya sekadar narasi saja. Padahal kebijakan bebas aktif juga penting untuk sampai ke tingkat dalam negeri sampai misalnya kebijakan investasi, perdagangan dan industri," ujar dia.

Kata dia, kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan pendekatan yang mengedepankan hubungan baik dengan seluruh negara, bukan berarti risiko terdampak tidak ada. 

Risiko tersebut datang dalam bentuk lain yakni persoalan akses pasar bagi mineral Indonesia berikut olahannya yang perlu dilihat dari dua arah. 

Contohnya, dari sisi permintaan, terdapat upaya negara-negara maju untuk mengurangi ketergantungan rantai nilai mineral global dari China menuju negara-negara yang lebih bersahabat (friendshoring) baik didasarkan pada pertimbangan nilai (value-based) ataupun pandangan geopolitik yang sama (like-minded). 

"Salah satu praktiknya terlihat ketika Amerika Serikat, kelompok G-7, dan mitra lainnya menggagas inisiatif minilateralisme baru — Mineral Security Partnership (MSP) di tahun 2022 untuk mengoordinasikan upaya tersebut," jelas dia.

Baca Juga: Kapitalisme Global dan Kesenjangan Sosial

Tidak hanya itu, MSP juga mengadopsi standarisasi pengolahan mineral tersendiri melalui Prinsip-Prinsip untuk Rantai Pasok Mineral Kritis yang Bertanggung Jawab.

"Seingga menambah komplikasi bagi negara-negara pemilik dan pengolah mineral untuk menjadi bagian rantai pasok ini," lanjutnya.




TERBARU

[X]
×