Reporter: Venny Suryanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman resesi tengah menghantui ekonomi Amerika Serikat (AS) usai Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, mengerek suku bunga hingga 75 basis poin pada pekan lalu.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan, dampak resesi ekonomi AS bila kelak terjadi bisa menekan ekspor Indonesia.
Josua mengatakan, potensi resesi AS cenderung meningkat, sejalan dengan kebijakan pengetatan moneter The Fed yang cukup agresif dalam rangka menahan laju inflasi. Dalam proyeksi terbaru, The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya, diikuti inflasi yang lebih tinggi.
“The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan tercatat 1,7%yoy, lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya sebesar 2,8% yoy. Sementara inflasi diperkirakan tercatat 5,2%yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar 4,3%yoy,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Selasa (21/6).
Baca Juga: Resesi AS di Depan Mata, Kenaikan Suku Bunga The Fed Diramal Berlanjut hingga 2023
Josua bilang, resesi yang terjadi di AS berpotensi mendorong penurunan ekspor Indonesia serta arus investasi dari AS. Adapun sektor yang berpotensi terdampak signifikan adalah sektor tekstil yang berorientasi ekspor.
“Sebagian besar ekspor tekstil Indonesia ditujukan ke AS. Sehingga bila terjadi gangguan permintaan di AS, maka industri ini akan berdampak paling signifikan pada perekonomian Indonesia,” ujar Josua.
Sementara dari sisi sektor keuangan, resesi yang berpotensi terjadi di AS juga diperkirakan mendorong arus aliran modal keluar, baik dari pasar saham ataupun pasar obligasi. Hal ini lantaran investor cenderung mencari aset safe haven di kala krisis, sehingga mendorong kenaikan yield.
Menurutnya, Bank Indonesia (BI) akan mengoptimalkan kebijakan stabilisasi rupiah melalui triple intervention yang juga turut mendukung stabilitas di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Lebih lanjut, Josua mengatakan, antisipasi yang dilakukan BI yakni dengan mempertimbangkan normalisasi suku bunga acuannya dalam rangka mengantispiasi ekspektasi kenaikan inflasi dan mendorong stabilitas rupiah.
“Selain itu, pengelolaan kebijakan fiskal yang prudent dengan mendorong defisit fiskal maksimal level 3% terhadap PDB pada tahun depan juga akan mendukung confidence pelaku pasar. Terutama investor asing bahwa konsolidasi fiskal akan mendukung keberlanjutan utang dan fiskal yang pada akhirnya akan memberikan dukungan pada pasar SBN,” imbuh dia.
Baca Juga: Ekonom Sebut Indonesia Seperti Mendapat Durian Runtuh dari Sinyal Resesi Ekonomi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News