kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.948.000   47.000   2,47%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Reformasi struktural diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia


Selasa, 18 Agustus 2020 / 09:43 WIB
Reformasi struktural diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia
ILUSTRASI. Pekerja menggunakan alat reach stackers di Terminal Peti Kemas Perawang, di Kabupaten Siak, Riau, Jumat (7/8/2020). Terminal Peti Kemas Perawang yang dikelola PT Pelindo 1, pada semester I-2020 melayani bongkar muat peti kemas sebanyak 40.571 boks dan men


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijkan Fiskal dan Makro Ekonomi Masyita Crystallin mengatakan, reformasi struktural diperlukan dalam rangka mengubah fundamental ekonomi Indonesia agar sisi penawaran dan sisi permintaan meningkat, dan ekonomi dapat tumbuh di atas potensial.

“Dengan pandemi Covid-19, pertumbuhan potensial Indonesia, dan banyak negara lainnya mengalami penurunan. Sisi permintaan dan sisi penawaran perlu terus di dorong untuk menjaga agar perekonomian tidak mengalami kontraksi yang terlalu besar dan lama,” ujar  Masyita kepada Kontan.co.id, Senin (17/8).

Sebelum wabah Covid-19, pertumbuhan potensial Indonesia berada di kisaran 5%. Hal ini dipengaruhi beberapa hal seperti produktivitas dan nilai tambah (value added) yang belum memadai. Perekonomian Indonesia, berdasarkan data, masih bergantung pada sektor komoditas, industri dan jasa yang memiliki nilai tambah rendah.

Baca Juga: Jokowi senang Pertamina produksi bahan bakar 100% sawit, Pertamina: Kado HUT RI Ke-75

Pemerintah memiliki visi untuk menjadi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045. Untuk mencapai cita- cita besar tersebut, pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan di atas potensial.

“Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas potensial dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian, sehingga dengan jumlah tenaga kerja yang sama, kita dapat menghasilkan lebih,” ungkap Masyita.

Sementara itu, menurutnya peningkatan daya saing dapat ditempuh melalui beberapa perbaikan struktural, salah satunya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

“Pengeluaran di bidang pendidikan sebetulnya cukup memadai, yaitu 20% dari APBN. Dengan penyerapan yang optimal, kebijakan ini dapat meningkatkan sumber daya manusia sehingga produktivitas tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dibandingkan dengan negara peers (negara dengan grade setara),” jelas Masyita.

Baca Juga: Eh, ada kabar baik, tren suku bunga KPR perbankan terus menurun, silakan cek di sini

Lebih lanjut, Masyita mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kendala yang menghambat daya saing Indonesia, seperti biaya logistik yang cukup tinggi. Pembangunan infrastruktur yang telah digenjot beberapa tahun ke belakang, menurut Masyita dapat menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut ke depannya.

Selain itu, struktur ekonomi pun perlu diubah untuk menyasar sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi. Hilirasi sektor pertambangan misalnya, telah mulai dilakukan pemerintah untuk meningkatkan value added di sektor ini.

Namun, Masyita mengungkapkan bahwa reformasi struktural tidak bisa dalam waktu singkat mengubah sektor-sektor ekonomi yang selama ini dominan. Untuk diversifikasi sektor, solusi yang dapat dilakukan menurut Masyita adalah dengan meningkatkan nilai tambah dari sektor-sektor baru lainnya.

Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah reformasi di bidang pertanian. Masyita menilai sektor ini masih dapat menjadi penyumbang PDB dan tenaga kerja terbesar, dan merupakan sektor yang dapat menjadi “shock absorber” saat kontraksi ekonomi atau krisis terjadi.

Masyita mencontohkan krisis Asia tahun 1997, di mana banyak pengangguran yang beralih kembali ke desa dan masuk ke sektor pertanian. Oleh karena itu, Menurut Masyita, di masa pandemi ini, sektor pertanian juga menjadi peredam dampak krisis.

Baca Juga: Faisal Basri: pejabat tak perlu membusungkan dada, tunjukkan sense of crisis

“Sektor ini adalah salah satu sektor yang masih dapat tumbuh positif di kuartal kedua, di saat sektor-sektor utama lain mengalami kontraksi.” Jelas Masyita.

Selain itu, selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sering mengalami kendala karena ketidakseimbangan sisi ekspor dan impor yang membuat defisit neraca perdagangan melebar, di saat pertumbuhan ekonomi berada di atas pertumbuhan ekonomi potensial.

Ini dikarenakan nilai tambah produk di sisi ekspor lebih rendah dibandingkan nilai tambah di sisi impor. “Sehingga pada saat pertumbuhan ekonomi naik, pelebaran defisit neraca perdagangan menyebabkan pelemahan rupiah. Ini membuat impor bahan baku dan modal malah menarik pertumbuhan ekonomi kembali ke bawah.” Papar Masyita.

Oleh karena itu, Masyita juga menilai ketidakseimbangan ini perlu di perbaiki. Salah satunya dengan hilirasi sektor-sektor utama sehingga meningkatkan nilai tambah. Penggunaan energi baru terbarukan juga sejalan dengan penyeimbangan sisi ekspor dan impor ini, karena netimpor energi masih merupkan bagian yang cukup signifikan dalam defisit perdagangan Indonesia.

Baca Juga: Diprediksi kontraksi tahun ini, Indonesia lebih mending daripada empat negara ASEAN

Ke depannya, Masyita menilai potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tinggi. Populasi yang masih berusia muda (demographic dividend), potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta kebijakan pemerintah yang prudent dapat merealisasikan peningkatan ekonomi Indonesia di atas potensialnya.

“Semua ini perlu dilakukan secara simultan untuk mencapai Indonesia maju di tahun 2045,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×