kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rasio utang terhadap PDB diprediksi membengkak, ini saran ekonom CORE


Senin, 26 Juli 2021 / 16:18 WIB
Rasio utang terhadap PDB diprediksi membengkak, ini saran ekonom CORE


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional, Moody’s, memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45%. 

Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy, hal tersebut dapat menjadi peringatkan bagi pemerintah dalam mengelola utang negara. Terlebih saat ini pandemi Covid-19 masih belum kelar.

“Pemerintah tentu harus mendorong meningkatkan nominal PDB untuk memperkecil rasio utang, hal ini bisa dilakukan dengan mengerek pertumbuhan ekonomi untuk tumbuh di level yang lebih tinggi terutama di tahun ini dan tahun depan,” jelas dia kepada Kontan.co.id, Senin (26/7).

Yusuf melihat, dinamika pertumbuhan ekonomi di 2021 akan dipengaruhi seberapa lama pemerintah bisa menanggulangi kenaikan kasus Covid-19. Dengan kondisi saat ini saja, Ia melihat potensi terkoreksinya pertumbuhan ekonomi dibandingkan target yang ditetapkan pemerintah cukup besar.

Baca Juga: Moody's peringatkan rasio utang pemerintah bisa lebih dari 45% terhadap PDB pada 2023

Untuk dua tahun depan, agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Yusuf berharap pemerintah dapat pemerintah mendorong sektor-sektor potensial seperti misalnya industri manufaktur. Stimulus dan reformasi struktural akan menjadi hal penting dalam mendorong pertumbuhan industri manufaktur di tahun-tahun mendatang. 

Nah, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya beban rasio utang bisa dikurangi.

Selain itu, Yusuf bilang, dalam penerbitan surat utang, pemerintah bisa menyerap dana dari investor milenial yang saat ini mengalami peningkatan. Di sisi lain, penerbitan surat utang dengan denominasi rupiah juga bisa memperkecil resiko nilai tukar yang mungkin bisa terjadi ke depannya.

Lebih lanjut, untuk beban bunga, umumnya pinjaman mempunyai beban bunga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Surat Berharga Negara (SBN), hanya saja pinjaman ini umumnya ada biaya tambahan seperti commitment fee.

“Dengan commitment fee tersebut maka harus dibayarkan jika debitur jika telat mencairkan pinjaman dari pemberi pinjaman (kreditur), penarikan pinjaman juga umumnya dilakukan dengan mata uang asing, sehingga ada potensi resiko selisih nilai tukar dalam jatuh tempo pembayaran utang,” pungkas Yusuf. 

Selanjutnya: Sri Mulyani kaji pemberian insentif PPh sebesar 5% untuk perusahaan multinasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×