Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) mengaku mengalami kesulitan dalam memperoleh Surat Izin Impor (SPI) bawang putih dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Hal ini berdampak pada pasokan bawang putih di dalam negeri. Ketua Umum Pusbarindo, Reinhart Antonius Batubara, menyatakan bahwa sejak awal tahun ini hanya 37 perusahaan yang berhasil memperoleh SPI, dengan total impor sebanyak 170.000 ton.
"Sementara kebutuhan bawang putih mencapai 50.000 ton per bulan. Seharusnya yang telah diberikan izin sebesar 250.000-300.000 ton," kata Reinhart di Jakarta, pada Kamis (25/5).
Baca Juga: Harga Kebutuhan Pokok Melandai, Inflasi April 2023 Diprediksi Terkendali
Menurutnya, Pusbarindo telah memenuhi berbagai persyaratan administrasi untuk memperoleh SPI Bawang Putih. Namun, hingga saat ini, SPI tersebut belum juga diterbitkan, sehingga mereka tidak dapat melakukan impor.
Reinhart juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengirimkan tiga surat kepada Kemendag untuk memperoleh kejelasan mengenai masalah ini. Namun, hingga saat ini, belum ada penjelasan yang jelas mengenai perizinan impor ini.
"Bulan Maret dan April kami telah mengirimkan surat, dengan salinan yang juga dikirimkan ke kementerian dan lembaga terkait. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kejelasan agar kami dapat menyampaikan keluhan kepada anggota," tutup Reinhart.
Di tempat yang sama, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aryo Dharma Pala, berpendapat bahwa pemerintah perlu menjadi lebih transparan dalam proses penerbitan SPI untuk kuota impor.
Baca Juga: Pemerintah Amankan Stok Pangan impor untuk Lebaran
Dia meminta Kemendag untuk mengungkapkan data mengenai perusahaan-perusahaan yang memperoleh kuota impor.
Hingga 31 Maret 2023, Kemendag hanya menerbitkan SPI untuk 35 perusahaan dengan total volume impor sebanyak 170.000 ton. Setelah itu, Kemendag menghentikan penerbitan SPI bawang putih bagi para importir.
"Kunci utamanya adalah transparansi mengenai siapa yang mendapatkan kuota impor dan berapa jumlahnya. Data tersebut harus diungkapkan," ujar Aryo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News