Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mematok target penerimaan pajak dalam APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Jumlah ini hanya naik 10,94% dibanding target dalam APBN-P 2017.
Namun, dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2017 berdasarkan data hingga 8 Januari 2018 yang sebesar Rp 1.151,1 triliun atau shortfall sebesar Rp 132,5 triliun, target tahun ini tumbuh 23,71%.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, target pertumbuhan yang hampir mencapai 24% itu adalah tantangan bagi Ditjen Pajak. Oleh karena itu, pihaknya memiliki beberapa senjata yang utamanya digunakan untuk peningkatan basis data wajib pajak.
Pertama, dengan PMK 165 yang dirilis akhir tahun 2017 lalu. PMK itu, kata Yon, tidak memiliki batas waktu tertentu asal fiskus belum menemukan harta tersembunyi dari WP. Dengan PMK 165, WP bisa mengungkap aset secara sukarela dengan menggunakan tarif final tanpa kena sanksi. “Diharapkan WP tertarik menggunakan fasilitas ini pada tahun ini,” kata Yon di Jakarta, Selasa (9/11).
Kedua, dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 yang mengatur pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari program amnesti pajak. Bila fiskus menemukan harta yang masih tersembunyi, aturan ini akan dipakai sebagai alatnya.
Ketiga, pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan dimulai pada April 2018 ini untuk nasabah domestik. Sementara untuk nasabah asing akan dimulai pada September 2018. Hal ini sudah diatur dalam UU 9 tahun 2017. “AEoI kan perbankan dalam negeri bisa kami manfaatkan di April,” ucap Yon.
Keempat, pelaksanaan laporan per negara atau country by country reporting (CbCR). Informasi dalam CbCR dipergunakan terutama untuk menelusuri risiko atas manipulasi transfer pricing (TP). Informasi ini, bisa diperoleh melalui skema pertukaran informasi antar otoritas pajak di negara-negara yang mengadopsi sistem ini.
“Dengan CbCR, kalau mereka masukkan SPT, kami lebih gampang lihat apakah sebuah perusahaan punya transaksi yang signifikan dengan pihak yang punya hubungan istimewa. Lalu, apakah transaksi ini sudah dilapor sesuai dengan harga normal yang sesungguhnya?” ujar dia,
Kelima, dengan data eksternal yang didapatkan oleh Ditjen Pajak lewat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pemberian Dan Penghimpunan Data Dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan. “Kami terima banyak data dari eksternal, tapi banyak yang kami harus evaluasi kualitas dan kesesuaian datanya,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News