Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Hingga saat ini pemerintah belum dapat memastikan kapan akan mulai memberlakukan pajak karbon di Indonesia.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa pungutan pajak karbon bisa menjadi salah satu solusi untuk memperluas ruang fiskal pemerintahan Prabowo Subianto.
Menurutnya, pajak karbon tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga memiliki nilai tambah dalam aspek lingkungan yang bisa lebih diterima oleh masyarakat.
"Bagi saya, pungutan pajak karbon bisa menjadi salah satu solusi dari kebutuhan perluasan ruang fiskal pemerintahan Prabowo," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Secara politik, Ia menyebut, pungutan pajak karbon bisa lebih diterima masyarakat karena ada aspek lingkungan di dalamnya, bukan hanya semata-mata untuk mencari penerimaan negara.
Baca Juga: Sri Mulyani Ubah Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Pajak Jadi Paling Lambat Tanggal 15
Fajry menambahkan bahwa pajak karbon tidak akan langsung membebani masyarakat, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, yang sering kali terpapar polusi udara.
"Terlebih agi warga Jakarta yang setiap hari berhadapan dengan polusi udara yang buruk, pungutan pajak karbon ini bisa menjadi harapan untuk kualitas udara yang lebih baik," jelasnya.
Namun, Fajry juga mengingatkan bahwa implementasi pajak karbon harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Jika dianggap memberatkan, ia menyarankan agar pemerintah dapat memulai penerapannya dengan penyesuaian administrasi terlebih dahulu.
"Jika dipandang terlalu berat bagi kondisi ekonomi, mungkin bisa mengimplementasikannya dari sisi administrasi lebih dahulu," tambahnya.
Lebih lanjut, Fajry menyoroti soal skema pemungutan pajak karbon. Ia berpendapat bahwa penerapan skema cap-and-trade tax yang menggabungkan sistem perdagangan emisi dan pajak karbon akan menghasilkan potensi penerimaan yang lebih kecil dibandingkan dengan hanya mengenakan pajak karbon semata.
"Dengan skema cap-trade-tax, potensi penerimaan dari adanya pajak karbon akan lebih kecil dibandingkan skema pajak karbon saja," tandas Fajry.
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan sinyal percepatan pemberlakuan pajak karbon pada tahun depan sebagai bagian dari strategi pendanaan non APBN dalam upaya melakukan transisi energi. Hal ini tertuang dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2025.
Sementara, dalam aturan yang baru saja diterbitkan, yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, juga memerinci jenis-jenis SPT yang digunakan untuk pelaksanaan pajak karbon.
Merujuk pada Pasal 164 beleid tersebut, terdapat dua jenis Surat Pemberitahuan (SPT) pajak karbon, yaitu SPT Tahunan Pajak Karbon dan SPT Masa Pajak Karbon.
SPT Tahunan Pajak Karbon memuat data mengenai perhitungan pajak karbon terutang, perhitungan pengurang pajak karbon dan pajak karbon yang harus dibayar.
Sementara, SPT Masa Pajak Karbon memuat data nilai penjualan barang mengandung karbon, dasar pengenaan pajak karbon, serta pajak karbon yang dipungut dan disetor.
Baca Juga: Penyeragaman Batas Setor Pajak Dinilai Mempermudah Kepatuhan Wajib Pajak
Selanjutnya: Menteri Investasi: Butuh Investasi Rp 13.528 Triliun agar Ekonomi Tumbuh 8%
Menarik Dibaca: 30 Kata Kata Hari Pahlawan 10 November 2024 yang Inspiratif dan Menyentuh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News