Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah akan menerapkan opsen pajak atau pungutan tambahan pajak mulai Januari 2025. Hal tersebut sebagai amanat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Dari beleid tersebut, nantinya Pemerintah Provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLBB). Sementara Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Diana Dewi mengatakan bahwa pemberlakuan aturan tersebut didalihkan untuk mendongkrak pendapatan daerah sebagai sisi positifnya.
Namun negatifnya, Diana menganggap, pungutan tambahan tersebut berpotensi menghadirkan beban baru bagi wajib pajak.
Baca Juga: Opsen Pajak Berlaku di 2025, Kemenkeu Sebut Ini Bukan Beban Tambahan
"Pengenaan opsen dengan persentase tertentu secara tidak langsung akan mendistorsi pendapatan daerah apabila salah dalam menentukan tarif," ujar Diana kepada Kontan.co.id, Senin (14/10).
Menurutnya, kecenderungan daerah untuk menetapkan tarif pajak maksimal akan berdampak pada tingginya opsen yang dibebankan kepada wajib pajak.
"Jadi, opsen sebagai pungutan tambahan mendulang resistensi wajib pajak, khususnya pelaku usaha," katanya.
Menurut Diana, seharusnya pemberlakuan opsen pajak menempatkan kemampuan pemerintah daerah (pemda) untuk memungut pajak, administrasi pajak pusat mengenai kedudukan/domisili yang dikaitkan dengan kewenangan pemerintah daerah, serta potensi kehilangan pendapatan di tingkat pusat sebagai konsideran dalam kebijakan fiskal daerah.
Pasalnya, opsen merupakan pungutan tambahan dengan akumulasi yang tidak melebihi tarif pajak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pada UU 28/2009 menyebutkan, tarif PKB adalah 2%, sementara pada UU 1/2022 menyebutkan sebesar 1,2%. Bila opsen PKB dikenakan 40% dari tarif tersebut atau 0,6%, maka wajib pajak harus membayar sebesar 2,1%, justru lebih besar daripada tarif existing.
Oleh karena itu, ketentuan tersebut justru akan membebani mayoritas pemilik kendaraan pertama, lantaran tidak semua wajib pajak terkena kewajiban untuk membayar progresif dan tidak semua wajib pajak memiliki kendaraan ganda atau lebih.
Sementara untuk pajak MBLB, apabila pemda kabupaten/kota menetapkan tarif pajak MBLB sebesar 20%, sesuai UU 1/2022, dengan opsen sekitar 5%, maka tidak akan terlalu menjadi beban bagi wajib pajak lantaran dalam UU 28/2009 sudah ditetapkan sebesar 25%.
Baca Juga: Daya Beli Belum Membaik, Pengusaha Minta Penerapan Opsen Pajak Ditunda
"Kami mengusulkan agar tarif opsen perlu diselaraskan agar tambahan pungutan tersebut tidak menimbulkan distorsi beban pajak dibandingkan dengan tarif existing," usul Diana.
Selain itu, definisi opsen juga bisa diubah menjadi skema bagi hasil. Di mana bukan mengatur bagi hasil yang bersumber dari penerimaan yang terkumpul, melainkan opsen mengatur tata laksana administrasi pembagian ketika menerima setoran pajak oleh wajib pajak.
Hal tersebut tentu tidak akan membebani wajib pajak karena pembagian dilakukan secara administratif tanpa konsekuensi tarif.
"Ke depan, pemerintah harus memberikan batasan definisi opsen secara jelas dan memastikan kalkulasi opsen tidak akan membebani wajib pajak, khususnya pelaku usaha," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News