kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.914   16,00   0,10%
  • IDX 7.197   56,12   0,79%
  • KOMPAS100 1.107   11,64   1,06%
  • LQ45 878   11,94   1,38%
  • ISSI 221   0,95   0,43%
  • IDX30 449   6,34   1,43%
  • IDXHIDIV20 540   5,67   1,06%
  • IDX80 127   1,46   1,16%
  • IDXV30 134   0,44   0,32%
  • IDXQ30 149   1,61   1,09%

Pukulan demi pukulan yang membuat produsen Bolt terjerat utang triliunan


Selasa, 30 Oktober 2018 / 05:14 WIB
Pukulan demi pukulan yang membuat produsen Bolt terjerat utang triliunan
ILUSTRASI. Perangkat Mobile Wifi (modem) Bolt Movimax Orion 4G LTE


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen modem Bolt, PT Internux, saat ini tengah menjalani proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan ratusan kreditur. Seperti yang diberitakan sebelumnya, nilai tagihan yang harus ditanggung Bolt terbilang fantastis. Yakni mencapai Rp 5,65 triliun. Perinciannya ada tiga kreditur separatis (dengan jaminan) dengan nilai tagihan Rp 274,55 miliar, dan 282 kreditur konkuren (tanpa jaminan) senilai Rp 5,37 triliun.

Presiden Direktur Internux Dicky Moechtar dalam rapat kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Senin (29/10) menceritakan bagaimana asal mula anak usaha PT First Media Tbk (KBLV) ini menanggung utang hingga triliunan rupiah.

"Kami dapat alokasi frekuensi pita lebar pada 2009, tapi baru beroperasi secara komersial pada 2013," kata Dicky.

Selama waktu kurang lebih empat tahun ini, tanpa adanya pemasukan, Internux kerap menemui hambatan yang justru terus menggerus keuangan perusahaan.

Pertama, ketika menang tender pada 2009, frekuensi yang didapat Internux ternyata tak steril. Masih banyak instansi pemerintah yang menggunakan frekuensi tersebut.

Dicky bilang perlu waktu dua tahun menyingkirkan pengguna tak berizin di frekuensi Internux.

"Kemudian ketika tender teknologi yang digunakan itu Wimax, dan perangkat teknologi ini tak tersedia di pasar. Tapi kita tetap menggelar jaringan dengan teknologi seadanya meski belum komersial," jelas Dicky.

Baru pada 2012, Internux mengajukan izin untuk menggunakan teknologi netral, 4G LTE. Dikabulkan. Namun, imbasnya Internux harus berinvestasi ulang. Terlebih teknologi 4G LTE belum ada di pasar domestik, sehingga Internux harus mendapatkan perangkat dari luar Indonesia.

Sialnya batas waktu soal adanya ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebanyak 50% perangkat telekomunikasi pita lebar nirkabel harus terpenuhi pada 2015.

Internux kembali butuh waktu menggandeng pabrikan domestik. "Makanya pada akhir 2013 kami ini pionir 4G LTE, karena sudah disiapkan semua," lanjut Dicky.

Sayangnya, masalah belum berhenti di sana. Dicky bilang ketika mulai beroperasi komersial hanya Internux yang menyelenggarakan penggelaran jaringan (roll out) beberapa operator pemenang tender frekuensi lain tak melakukannya.

Akibatnya, jaringan Internux tak terkoneksi di luar wilayah yang dizinkannya. Pelanggan Bolt tak bisa menggunakan layanan di luar Zona 4 yang digarap Internux, yaitu Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Banten.

"Kemudian pada 2014, setahun beroperasi pemerintah memberikan alokasi ke satu operator. Dan kebetulan operator ini punya cakupan layanan nasional. Ini satu pukulan bisnis paling telak bagi kami," sambung Dicky.

Alhasil, alih-alih terus dipasok untung, penjualan Internux melorot. Padahal, kata Dicky, para pemegang saham Internux telah menggelontorkan investasi mencapai Rp 8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×