Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) melaporkan realisasi produksi rokok dari Januari hingga Agustus 2021 meningkat 5,03%.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat, realisasi produksi rokok dari Januari hingga Agustus 2021, sebanyak 208,6 miliar batang rokok atau tumbuh 6,2% dibanding periode Januari-Agustus 2020 yang sebanyak 196,3 miliar batang rokok.
Meski begitu produksi rokok naik, Ketua Umum Gappri Henry Nayoan mengatakan, situasi pada 2021 masih belum pulih akibat pandemi Covid-19. Bagi industri hasil tembakau (IHT), kenaikan tarif cukai rokok pada 2020 dan 2021 ditambah masih dalam situasi pandemi, membuat pengusaha rokok kesulitan menjalankan usahanya.
“Dari sisi angka, proyeksi tahun 2021 memang lebih baik dibanding tahun 2020. Tetapi situasinya masih jauh dari kondusif. Tahun ini menjadi tahun paling banyak retur (CK-5). Selain itu, juga semakin marak rokok ilegal. Sementara, dari sisi utilisisasi, rata-rata hanya 55% dari kapasitas terpakai dibanding sebelum pandemi,” kata Henry kepada Kontan.co.id, Selasa (12/10).
Baca Juga: Kata Kemenkeu terkait rencana pengumuman kenaikan cukai rokok pada Oktober 2021 ini
Pemerintah sendiri berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 mendatang.
Henry mengatakan, sejak kenaikan tarif CHT pada2020 sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% ditambah kenaikan tarif CHT 12,5% pada 2021, beban para pengusaha rokok bertambah berat. Apalagi ditambah adanya pandemi Covid-19.
Menurutnya, berapapun angka kenaikan tarif cukai rokok, apalagi di atas satu digit, akan semakin memberatkan pengusaha rokok. Di sisi lain, terdapat gap antara harga rokok legal dengan ilegal yang semakin jauh. Sehingga ini justru dimanfaatkan pihak lain untuk mengambil untung dengan memproduksi rokok ilegal.
Sebelum pemerintah memilih opsi menaikkan tarif cukai, Henry berharap, agar pemerintah melakukan penindakan secara extra ordinary terlebih dahulu bagi produsen dan pengedar rokok illegal.
“Sehingga pemerintah tidak kehilangan penerimaan yang pada 2020 saja mencapai Rp 13,48 triliun. Namun, menurut kami faktanya jauh lebih besar karena rokok ilegal adalah fenomena gunung es, nampak kecil dipermukaan tapi besar di bawahnya,” kata Henry.
Henry mengusulkan agar pemerintah tidak menaikkan tarif CHT. Sebab, ini akan membantu para pengusaha rokok untuk melakukan pemulihan akibat kenaikan tarif dan pandemi yang berlangsung dua tahun ini.
“Industri hasil tembakau membutuhkan waktu tiga tahun untuk pulih. Dalam waktu tiga tahun itu, kami berharap pemerintah tidak membuat kebijakan yang membuat industri hasil tembakau terkontraksi,” imbuhnya.
Selanjutnya: Dirjen Bea Cukai laporkan produksi hasil tembakau mengalami kenaikan 6,2% di 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News