Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Janji pemerintah untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 pada hari ini, Selasa (16/12/2025), meleset dari target.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menilai terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto tidak kunjung menandatangani draft UMP untuk tahun depan.
"Saya curiga ada pembisik Presiden sengaja 'buying time untuk kepentingan politis' skenariokan kenaikan upah akan diputuskan Presiden sama rata kembali," ungkap Ketua KSPN, Ristadi, kepada Kontan, Selasa (16/12/2025).
Sejak akhir November Ristadi bilang, pihaknya sudah mendapatkan informasi bahwa aturan baru tentang upah minimum yang memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan disparitas upah antar daerah sudah selesai dilevel kementerian terkait dan dikirim ke Presiden untuk disahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Baca Juga: BP Taskin Siapkan Strategi Cegah Kemiskinan Baru Pascabanjir di Sumatera
"Namun hingga kini belum ada kabar kepastian kapan akan disyahkan, padahal Upah Minimum 2026 sudah harus berlaku mulai 1 Januari 2026," tambah dia.
Peraturan Pemerintah tentang Upah Minimum ini ditunggu-tunggu oleh daerah untuk dijadikan pedoman dalam hal melakukan pengkajian dan penghitungan kenaikan Upah Minimum oleh masing-masing Dewan Pengupahan daerah untuk kemudian direkomendasikan kepada Gubernur untuk disahkan
Proses pengkajian dan penghitungan kenaikan upah minimum oleh Dewan Pengupahan daerah hingga disahkan Gubernur itu butuh waktu yang memadai agar hasilnya lebih obyektif dan akomodatif.
"Namun sampai sekarang waktu semakin mepet ke tanggal 1 Januari 2026 tapi belum juga disahkan PP Upah Minimum tersebut," kata dia.
Jika waktu yang tersisa semakin sedikit, menurut Ristadi, kenaikan Upah Minimum akan diambil alih keputusannya kembali oleh Presiden melalui hak diskresinya dengan hanya melakukan negosiasi dengan beberapa Pimpinan Buruh.
"Dengan alasan waktu yang sudah mendesak tidak mungkin lagi dibahas dan dirundingkan didaerah-daerah," kata dia.
Hak diskresi memang dibolehkan, tapi jika ini dilakukan kembali untuk kenaikan upah minimum, maka dampak dan kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut;
1. Secara 'defacto' kenaikan upah minimum diputuskan oleh Presiden, padahal aturannya masih berlaku Gubernur lah yang memutuskan berapa kenaikan upah minimum atas rekomendasi Dewan Pengupahan daerah masing-masing.
2. Akan berpotensi abaikan prinsip-prinsip rasionalitas data dan tidak bisa dijelaskan secara kajian ilmiah seperti kenaikan upah minimum tahun 2025 ini sebesar 6,5%.
3. Hanya akan jadi panggung 'entertain politis' saja oleh Presiden dan pimpinan buruh yang berkepentingan politis.
4. Jika kemudian ditetapkan kenaikanya satu angka sama rata se Indonesia, maka disparitas/kesenjangan upah minimum antar daerah semakian tinggi, ini tidak adil bagi pekerja dan tidak sehat untuk persaingan dunia usaha.
"Oleh karena itu saya mendesak agar Presiden segera sahkan PP tersebut juga meminta Menteri-menteri bidang ekonomi untuk tidak hanya sekedar menunggu saja, tapi ingatkan Presiden untuk segera mensahkan aturan kenaikan upah minimum yang sesuai putusan MK dan mempertimbangkan disparitas upah antar daerah, untuk kemudian dijadikan pedoman teknis pengkajian dan perumusan kenaikan upah minimum di masing-masing daerah," tutupnya.
Baca Juga: Ramai Desakan Naikkan Batas PTKP, Begini Respon Ditjen Pajak
Selanjutnya: Perbankan Swasta Minta Aturan DHE Valas 100% di Himbara Dikaji Ulang
Menarik Dibaca: Pasar Kripto Ambles, Token Ini Melejit 25% ke Puncak Top Gainers
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












