Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan indikasi korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh sejumlah kepala daerah. Temuan itu berdasar berdasarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) milik PPATK. Korupsi dan TPPU itu terjadi dalam pelayanan di sejumlah sektor usaha.
Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, menjelaskan, dugaan korupsi dan TPPU dengan berbagai modus. Kepala daerah biasanya memainkan perizinan pengelolaan mulai dari hutan, perkebunan, dan pertambangan. Ada juga kepala daerah yang melakukan mark down atas pembayaran pajak hingga mengurangi transaksi penjualan tambang.
Namun, Agus masih merahasiakan nama-nama kepala daerah yang terlibat di praktik haram tersebut. Ia juga enggan merinci nilai aliran dana ataupun kerugian negara akibat di kasus ini.
Agus hanya memastikan, PPATK telah berkoordinasi secara intensif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memproses penegakan hukum di sektor ESDM ini. "PPATK juga sudah mengirimkan LHA tersebut kepada KPK. Kita tentu tidak ridho bila kekuasaan dibeli dari sumber-sumber pembiayaan illegal," lanjut Agus.
Sebenarnya, KPK juga sudah mengendus dugaan korupsi dan TPPU di sektor ini. KPK mencatat, dugaan itu berdasar pada pembayaran royalti tambang yang tersendat. Pada 2010-2012, sub sektor ekspor batubara tahun 2010-2012 menunggak pembayaran royalti US$ 1,2 miliar.
Tahun 2011, kerugian negara akibat ekspor mineral seperti nikel, biji besi atau pasir besi, timbal, bauksit, dan mangaan mencapai sebesar US$ 24,7 juta. "Diharapkan dalam waktu dekat ini penegakan hukum yang keras sebagai shock therapy dapat dilakukan mengingat dugaan potensi kerugian keuangan negara yang begitu besar dan juga kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkannya," tutur Agus.
Selain dua lembaga ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) juga menaruh kecurigaan pada pengelolaan sektor tambang. BKF mencatat, potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi di sektor pertambangan dan penggalian tahun 2012 mencapai Rp 140,96 triliun. Namun, realisasi pajaknya hanya Rp 43,48 triliun.
Direktur Jenderal Pajak (DJP), Fuad Rahmany, berujar, tingginya selisih realisasi pajak dan potensi itu karena ada perbedaan data ekspor dan produksi oleh lembaga pemerintah dengan di tingkat internasional. Ini bisa saja terjadi jika ada permainan dalam pencatatan data di tingkat daerah ataupun pusat. DJP juga berharap data pertambangan lebih akurat lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News