kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PP Muhammadiyah: Jangan sampai kebijakan pajak menindas orang miskin


Kamis, 24 Juni 2021 / 19:23 WIB
PP Muhammadiyah: Jangan sampai kebijakan pajak menindas orang miskin
ILUSTRASI. Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengingatkan, kebijakan perpajakan yang dikeluarkan pemerintah jangan sampai menindas rakyat.

Apalagi, saat ini tengah santer terdengar bahwa pemerintah akan melakukan reformasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikhawatirkan akan meningkatkan harga barang/jasa yang dekat dengan masyarakat.

“Kalau bicara tentang APBN yang kaitannya dengan pajak, jangan sampai APBN dan pajak ini menindas orang miskin, jangan sampai penggunaannya tidak teralokasikan pada anak-anak yatim dan fakir miskin,” ujar Anwar, Kamis (24/6).

Baca Juga: Ketua PP Muhammadiyah sebut anggaran pemerintah banyak ditilep pihak tertentu

Alih-alih mengeluarkan kebijakan yang berpotensi menindas rakyat, Anwar meminta pemerintah untuk meningkatkan efektivitas dalam pengelolaan anggaran, terutama dalam belanja (spending).

Jangan sampai, spending yang dikeluarkan pemerintah ini malah inefisien dan diambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti para koruptor.

Pasalnya, ia berkaca dari zaman Soemitro Djojohadikoesoemo, tingkat kebocoran anggaran pada waktu itu sekitar 30%. Nah, khawatirnya, tingkat kebocoran anggaran pada APBN saat ini lebih dari itu, bahkan bisa mencapai 40% hingga 50%.

Ia kemudian melakukan perhitungan. Realisasi belanja negara pada tahun 2020 tercatat Rp 2.589,9 triliun. Dengan asumsi ada kebocoran sekitar 30%, maka setidaknya ada sekitar Rp 776 triliun yang merupakan pengeluaran tidak semestinya.

Baca Juga: Soal presiden tiga periode, Muhammadiyah: Tunggu reformasi jilid II

Ia tentu saja menyayangkan hal itu dan mengaku kecewa dengan pemerintahan saat ini. Pasalnya, kalau pemerintah bisa melakukan pengetatan dan efisiensi anggaran, maka belanja tahun lalu mungkin cukup hanya sekitar Rp 1.500 triliun saja.

Penerimaan pajak plus pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan harusnya bisa menutup belanja. Pemerintah pun tak perlu utang karena hal ini.

“Nah, dengan demikian, sebenarnya pajak yang berhasil dikumpulkan sudah cukup. Sri Mulyani tidak harus terpaksa kerja keras mencari pendapatan tambahan dari pajak,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×