Reporter: Rika |
JAKARTA. Meski tak menjadi peserta dalam World Economic Forum on East Asia ke-20 di Jakarta, China menjadi negara yang sering disebut-sebut di hari pertama ajang internasional itu. Salah satu yang paling menarik adalah ketika pertanyaan soal revaluasi yuan dilontarkan kepada Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Long.
Klaus Schwab, Pendiri World Economic Forum, bertanya kepada Lee, “Mr. Lee, saya ingin mengajukan pertanyaan yang sedikit diplomatis. Apakah Anda menyambut revaluasi yuan?”
Sambil tersenyum, Lee menjawab, “Saya pikir ini pertanyaan yang sangat tajam,” yang disambut oleh tawa para peserta. “Kalau Anda cuma bertanya seperti itu, saya akan menjawab tidak,” kata PM baru Singapura itu dengan lugas. Namun, ia melanjutkan bahwa ia melihat penyesuaian kembali nilai tukar yuan secara bertahap selain membantu menyeimbangkan perekonomian global, ini sebenarnya akan membantu China juga.
“Ini akan membantu restrukturisasi yang seharusnya terjadi di China, yaitu mengurangi ketergantungan terhadap pertumbuhan dari ekspor dan menambah porsi yang lebih besar dari permintaan domestik,” jelasnya.
Revaluasi yuan juga berguna untuk memeratakan manfaat pertumbuhan dari ekspor ke pekerja domestik, para petani, dan orang-orang di daratan China. Argumen ini, kata Lee, harus diseimbangkan dengan kesulitan politis yang akan dihadapi pemerintah China jika ini dilakukan.
“Menguatkan yuan akan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekspor dan kemudian akan menimbulkan pengangguran. Inilah yang akan menyebabkan kesulitan politis bagi pemerintah China,” paparnya. Menurut Lee, inilah yang harus diputuskan pemerintah China.
Nilai tukar yuan yang dianggap lemah memang menjadi kambing hitam ketidakseimbangan ekonomi global. Amerika Serikat bahkan menuding China memanipulasi nilai tukarnya agar produk ekspornya murah di pasaran. Dus, neraca perdagangannya pun selalu surplus terhadap AS dan rekan dagangnya yang lain. Tahun lalu, masalah currency war ini pernah menjadi topik hangat saat membahas perekonomian global.
Namun ekonom dan mantan Wakil Presiden Bank Dunia Joseph Stiglitz sempat menyatakan konsep manipulasi mata uang sebenarnya lemah. Dalam tulisannya, Stiglitz mengatakan pemerintah mana pun selalu mengambil tindakan langsung maupun tak langsung yang mempengaruhi nilai tukar. Defisit bujet yang ceroboh, misalnya, akan menyebabkan mata uang melemah. Ia mencontohkan, AS juga menarik manfaat dari krisis utang di Yunani karena dollar jadi melemah terhadap euro.
Contoh lain yang ia kemukakan adalah Arab Saudi. Negara itu meraup surplus secara bilateral maupun multilateral. AS menginginkan minyak dari Saudi, sementara Saudi ingin mengimpor lebih sedikit produk AS. Di 2008, neraca perdagangan Saudi surplus US$ 212 miliar, sedang China waktu itu surplus US$ 175 miliar. Neraca berjalan Saudi juga surplus 11,5% dari Produk Domestik Bruto-nya. Surplus tersebut malahan dua kali dari surplus China ketika itu. Surplus Saudi bisa lebih tinggi lagi kalau saja negara itu tidak mengimpor senjata dari AS.
Sekarang, apakah keseimbangan global itu adalah mitos?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News