kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Piutang Pajak Macet Kerap Jadi Persoalan, Pengamat Beberkan Penyebabnya


Jumat, 07 Juli 2023 / 16:36 WIB
Piutang Pajak Macet Kerap Jadi Persoalan, Pengamat Beberkan Penyebabnya
ILUSTRASI. Petugas layanan pajak sedang memberikan pelayanan kepada warga di KPP Pratama Tanah Abang, Jakarta, Kamis (28/7/2022). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan piutang pajak macet masih kerap menjadi temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Pusat 2022 (LHP SPI dan Kepatuhan 2022), terdapat piutang macet tersebut senilai Rp 7,2 triliun dan piutang pajak daluwarsa senilai Rp 808,1 miliar.

Nah, pada tahun 2021, BPK juga menemukan piutang macet sebesar Rp 20,84 triliun yang belum dilakukan penagihan secara optimal oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, ada empat faktor yang menyebabkan permasalahan piutang pajak macet kerap menjadi persoalan. Pertama, penanggung pajaknya tidak berada di Indonesia.

Kedua, penanggung pajaknya tidak memiliki aset yang memadai untuk disita dan dilelang. Ketiga, penanggung pajaknya memiliki aset untuk disita, namun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalami kesulitan untuk melelangnya.

Baca Juga: Penagihan Tak Optimal, BPK Temukan Piutang Pajak Macet Rp 7,2 Triliun

"Dan terakhir, penanggung pajaknya memiliki aset yang berada di luar negeri sehingga tidak dapat dilakukan penyitaan," ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Rabu (5/7).

Namun, Prianto bilang, pemerintah sudah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Sampai sekarang ketentuan tersebut belum diubah.

Nah, untuk pelaksanaannya, pemerintah juga sudah memperbaharui tata cara pelaksanaan penagihan piutang pajak melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023.

"Dengan kata lain, pemerintah telah membenahi instrumen aturannya," katanya.

Seperti yang diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan aturan baru mengenai bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi.

Baca Juga: Pajak Natura Dinilai Tak Akan Signifikan Dorong Penerimaan Pajak

Hal ini tertuang dalam PMK Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. PMK ini berlaku efektif pada 12 Juni 2023.

Dalam beleid ini, Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. Pelaksanaan bantuan penagihan pajak dimaksud meliputi permintaan dan pemberian bantuan penagihan pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×