kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pilkada asimetris cocok untuk Indonesia


Senin, 27 Januari 2014 / 11:05 WIB
Pilkada asimetris cocok untuk Indonesia
ILUSTRASI. Saham Blue Chip Sudah Beri Untung Tinggi, Cek Yang Masih Bisa Naik Harga Lagi. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/27/04/2018


Sumber: TribunNews.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan pilkada yang berlaku seragam (uniformitas) di Indonesia, dinilai keliru atau bertentangan dengan fakta keberagaman Indonesia. Pilkada asimetris atau beragam dinilai lebih tepat diterapkan.

Bupati Musi Rawas, Dr Ridwan Mukti mengungkapkan hal tersebut. "Pilkada hanya akan menuai konflik yang berkepanjangan apabila dipaksakan seragam. Karena itu pilkada baiknya dilakukan secara beragam sesuai karakter masing-masing daerah,” kata Ridwan Mukti di Jakarta, Minggu (26/1) kemarin.

Belum lama ini Ridwan Mukti meraih doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Sumsel dengan disertasi "Sistem Pemilihan Kepala Daerah Beragam di Indonesia, Implikasi Makna Restriktif dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945".

Ia menegaskan,  penerapan hanya pilkada langsung telah terbukti lebih banyak efek negatifnya daripada positifnya.
 
Pilkada asimetris atau beragam menurutnya lagi, merupakan penggunaan beberapa model pilkada dalam proses pemilihan kepala daerah menurut kecocokan di suatu daerah.

Dengan memilih salah satu model dipilih DPRD, dipilih langsung, atau dipilih sistem campuran yakni, pemilihan oleh DPRD diperluas, pemilihan langsung dipersempit (popular vote), atau pemilihan oleh adat.
 
Dari penelitiannya,  berdasarkan daerah, model pilkada langsung paling tepat dilaksanakan di PulauJawa dan Sumatera. Kecuali untuk Kepulauan Riau yang cocok untuk digunakan sistem perwakilan diperluas.

Sementara model pilkada dengan system perwakilan, imbuhnya, diperluas, cocok untuk dilaksanakan di Pulau Bali, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, termasuk DKI Jakarta mengusulkan sistem perwakilan diperluas.
 
"Model pilkada dengan sistem pilkada langsung dipersempit cocok diterapkan di Aceh. Untuk model Forum Adat wilayah cocok diterapkan di Kabupaten Buleleng (Bali), Kabupaten Baubau (Pulau Buton), Provinsi DIY, dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Sementara model pilkada dengan sistem perwakilan DPRD cocok diterapkan di Sumatera Selatan termasuk untuk Provinsi Papua," paparnya dalam rilisnya kepada Tribunnews.com.
 
Ridwan Mukti juga menyebut, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan secara tidak tepat. Parsial, serta restriktif oleh UU No32 Tahun 2004 sehingga konsekuensinya pilkada bermasalah, baik secara praktik atau perilaku, maupun norma, serta bentuk aturannya.

Ketidaktepatan UU No32 Tahun 2004 ketika melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 ayat (4) yaitu dengan tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945 menjadi penyebab utama kenapa pilkada tersebut diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan adalah karena dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.
 
"Sesuai latar belakang perumusannya, frasa ‘Dipilih secara demokratis’ dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung oleh DPRD maupun melalui sistemlainnya. Yang terpenting adalah pilkada dilakukan secara jujur dan adil serta sesuai prinsip-prinsip pemilihan adalah cara yang demokratis," sambungnya lagi.
 
Mengenai aturan hukum pilkada asimetris ini, lanjutnya lagi, dilakukan melalui undang-undang yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh perda masing-masing daerah provinsi atau kabupaten/kota.
 
Dikatakan, penempatan perda sebagai landasan hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah desentralisasi. Pada Orde Lama hingga akhir Orde Baru dapat terlihat hubungan antara pusat dan daerah hanya sebatas hubungan administratif atau hanya ditempatkan sebagai onjek pusat.

Kemudian di era Orde Reformasi, dalam rezim UU No22 Tahun 199 dan UU No32 Tahun 2004 dalam konteks pilkada, daerah ada peningkatan peran sebagai subjek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×