kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PHRI minta bisnis akomodasi online diatur ketat


Senin, 04 Desember 2017 / 22:14 WIB
PHRI minta bisnis akomodasi online diatur ketat


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemajuan teknologi digital memang tak terelakan. Terlebih dalam bisnis, teknologi dapat beri efisiensi dan kemudahan.

Merekahnya bisnis ekonomi digital mulai dari marketplace hingga sharing economy jadi bukti teknologi digital berikan efisiensi dan efektivitas bagi konsumen.

Lantaran berkembang pesat, Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, bahwa pelaku ekonomi digital, khususnya di bidang akomodasi perlu diatur ketat.

"Saat ini sharing economy transportasi darat mulai ada regulasinya, transportasi udara belum terlalu banyak pemainnya, sektor akomodasi belum ada metode yang tepat untuk mengontrolnya," katanya, dalam acara bertajuk Keseimbangan Ekonomi Dunia Digital, Senin (4/12) di Jakarta.

Kata Hariyadi, PHRI punya tiga keberatan atas hadirnya industri digital yang mulai merangsek ke industri akomodasi.

Pertama, soal unlimited resources yang dimiliki. Ia mencontohkan bagaimana perusahaan sharing economy sektor akomodasi seperti Airbnb bisa pesat bertumbuh.

Mengutip rilis resminya, Hariyadi katakan saat ini Airbnb miliki 43.700 rumah yang disewakan, dengan pertumbuhan mencapai 72% per tahun.

"Untuk mengungguli pelaku konvensional ini sangat mudah sekali. Saat ini misalnya untuk hotel berbintang ada 290.000 unit kamar, sementara non bintang ada 285.000," jelasnya.

Kedua, adalah soal pajak. Kata Hariyadi, mulai Online Travel Agencies (OTA) hingga bisnis sharing economy asing enggan jadi badan hukum resmi Indonesia. Penyebabnya memang agar tak terkena pajak.

Seluruh pajak yang dibebankan kepada OTA ini kata Hariyadi biasanya dibebankan ke pihak hotel. Padahal jumlahnya tak sedikit.

"Kalau ada tax treaty alias perjanjian pajak di Indonesia maka kena 10% PPh 26 atas komisinya. Kalau tidak ada tax treaty pihak hotel bayar 20%. Sementara kalau OTA lokal dengan Pph 23 kita bayar PPh 2%," katanya.

Sementara ketiga adalah soal keamanan. Pelaku bisnis akomodasi dengan sharing economy ini, kata Hariyadi lantaran berbasis properti pribadi perlu aspek keamanan yang jelas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×