Reporter: Asep Munazat Zatnika, Lamgiat Siringoringo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Lama tenggelam, sengketa antara Astro Group Malaysia dengan mantan mitra bisnisnya di Indonesia, yakni PT Ayunda Prima dan PT Direct Vision, dalam menjalankan televisi berbayar Astro TV, kembali memanas. Markas Bekas Kepolisian RI (Mabes Polri) sudah melimpahkan berkas kasus rekayasa biaya operasional Astro TV, ke Kejaksaan.
Dalam kasus ini, Mabes Polri sudah menetapkan Ralph Marshall, bekas Executive Deputy Chairman and CEO Grup Astro Malaysia, sebagai tersangka. Berkas perkara dengan tersangka Ralph itu sudah dilimpahkan dari Polisi ke Kejaksaan dengan Nomor B-688/E.3/Ep.1/03/2012 tertanggal 5 Maret 2012. Polisi menetapkan Marshall sebagai tersangka karena telah merekayasa biaya operasional Astro TV sebesar US$ 90 juta.
Walau berkasnya sudah ke Kejaksaan, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution, mengatakan, pihaknya belum bisa menangkap Marshall. "Kami tak tahu dimana dia sekarang," kata Saud, kemarin.
Hanya saja, dalam waktu dekat ini Kepolisian RI akan segera menerbitkan red notice untuk Marshall, sehingga menempatkannya menjadi buronan Interpol.
Direct Vision senang
Sayangnya, Kuasa Hukum Astro, Hafzan Taher, belum mau banyak berkomentar soal perkembangan kasus ini. "Saya baru pulang umroh. Jadi belum up date dengan kasus ini," ujar Hafzan.
Sebaliknya, Kuasa Hukum Direct Vision, Abimanyu K. Wenas, menyambut baik langkah Kepolisian ini. Menurutnya, hasil pengembangan penyidikan polisi itu menunjukkan, Astra memiliki itikad tidak baik dalam berinvestasi di Indonesia. "Polisi membuktikan hal ini," tandas Abimanyu. Ia berharap, polisi bisa menangkap tersangka kasus ini sehingga dana kerugian bisa dikembalikan.
Ia mengklaim, kasus pidana ini sebenarnya tak berkaitan langsung dengan sengketa perdata antara Astro dengan Ayunda Prima yang hingga saat ini masih berlangsung. Namun, Abimanyu mengatakan, gugatan perdata dari kliennya akan menunggu penyelesaian perkara pidana ini.
Sekadar mengingatkan, Astro dengan anak perusahaan Lippo Group itu pernah bekerjasama menyelenggarakan siaran Astro TV di Indonesia. Belakangan, kongsi bisnis itu putus di tengah jalan. Keduanya bahkan saling menggugat di pengadilan.
Salah satu putusan dalam sengketa perdata ini datang dari Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Pada 16 Februari 2010, Badan Arbitrase Singapura itu mengabulkan gugatan Astro. SIAC menghukum Ayunda, Direct Vision dan Lippo Group agar membayar ganti rugi sebesar US$ 230 juta atau sekitar Rp 2,14 triliun.
Namun, Direct Vision kemudian menggugat dan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat agar putusan SIAC itu tidak bisa dieksekusi. Namun, gugatan Direct Vision di PN Jakarta Pusat ini kandas.
Tak mau menyerah, Direct Vision pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Intinya, mereka tetap meminta permohonan agar putusan SIAC itu tidak bisa dieksekusi di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News