Reporter: Uji Agung Santosa |
JAKARTA. Perwakilan diplomatik dan atase perdagangan Indonesia di luar negeri harus lebih berperan dalam penyelesain kasus ekspor. Peranan itu terutama dalam memberikan informasi terkait kebijakan proteksi pasar domestik di setiap negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengatakan dengan adanya informasi yang baik dan terpadu maka akan sangat membantu pengamanan pasar ekspor Indonesia. "Selama ini peran mereka belum optimal untuk membantu perdagangan luar negeri," kata Edy Putra di Jakarta, Rabu (7/1).
Ia menambahkan, pemberian stimulus fiskal tidak akan banyak berarti jika permasalahan dan sengketa ekspor tidak dapat diselesaikan dengan baik dan cepat. Untuk itu perwakilan diplomatik diharapkan mengambil peranan penting tersebut.
Ia mengatakan, dirinya minggu lalu telah mengirim surat ke Departemen Luar Negeri untuk mendesak lembaga tersebut mengidentifikasi kebijakan negara-negara lain guna mengamankan akses pasar, distribusi ekspor, dan investasi nasional. "Tolonglah perhatikan per negara itu, apa
saja kebijakannya yang bisa langsung berkaitan dengan akses pasar, distribusi, dan investasi," ujar Edi. Informasi yang baik juga dibutuhkan untuk mencari peluang pasar baru bagi pasar Indonesia terutama ke negara-negara Timur Tengah dan Eropa Timur.
Laboran-laporan dari Departemen Luar Negeri tentang kebijakan-kebijakan perdagangan negara-negara ini nantinya, selain dijadikan acuan bagi pemerintah merumuskan kebijakan ekspor yang lebih efektif juga memudahkan kalangan pengusaha memperoleh informasi pasar
secara akurat dalam menunjang ekspansi pasar ekspor.
Pemerintah mengidentifikasi sedikitnya 18 negara yang telah dan masih menerapkan kebijakan pengamanan sektor riil yang dikhawatirkan merugikan ekspor nasional. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian disebutkan, 18 negara di berbagai kawasan ini menerapkan
kebijakan pengamanan sektor riil yang cukup berdampak pada ekspor domestik. Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan baik sebelum maupun setelah krisis ekonomi berlangsung.
"Rata-rata kebijakan ini masih diterapkan oleh negara-negara bersangkutan, meski memang ada yang sudah bisa kita counter seperti wood dan fisheries," ujar. Beberapa negara tersebut antara lain, Amerika Serikat dengan 9 aturan, Uni Eropa 2 aturan, Turki 1 aturan, dan Mesir 1 aturan kebijakan.
Bentuk kebijakan di Uni Eropa misalnya, penerapan kebijakan bahwa semua produk yang mengandung zat dan bahan kimia berbahaya harus melakukan pra registrasi pada European Chemical Agency (ECHA) bila ingin masuk kawasan ini. Dalam proses registrasinya,
produsen/eksportir harus memberikan data lengkap tentang bahan kimia dalam produknya.
Aturan tersebut cukup berdampak mengingat beberapa produk ekspor Indonesia ke Uni Eropa seperti tekstil dan produk tekstil, furnitur, dan sepatu menggunakan bahan kimia dimaksud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News