kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.470.000   6.000   0,24%
  • USD/IDR 16.705   1,00   0,01%
  • IDX 8.677   -9,12   -0,11%
  • KOMPAS100 1.190   -4,09   -0,34%
  • LQ45 853   -1,76   -0,21%
  • ISSI 310   0,09   0,03%
  • IDX30 438   -0,40   -0,09%
  • IDXHIDIV20 507   1,46   0,29%
  • IDX80 133   -0,28   -0,21%
  • IDXV30 138   -0,11   -0,08%
  • IDXQ30 139   0,30   0,22%

Pertumbuhan Ekonomi RI Belum Mampu Menyelesaikan Persoalan Lapangan Kerja


Rabu, 17 Desember 2025 / 16:33 WIB
Pertumbuhan Ekonomi RI Belum Mampu Menyelesaikan Persoalan Lapangan Kerja
ILUSTRASI. Pencari Kerja Antri di Pameran Bursa Kerja di GBK (KONTAN/Fransiskus Simbolon) Persoalan lapangan kerja masih menjadi masalah ekonomi nasional hingga saat ini. ?Pemerintah pun terus mencari cara untuk mengatasinya.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Persoalan lapangan kerja masih menjadi masalah ekonomi nasional hingga saat ini. Angka pertumbuhan ekonomi semata dinilai belum cukup jika tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan, terutama bagi generasi muda.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, dengan target laju pertumbuhan ekonomi sekitar 5,4% pada tahun depan, Indonesia masih kesulitan menyerap seluruh angkatan kerja baru yang masuk setiap tahun. Menurutnya, angka tersebut belum memadai untuk menjamin ketersediaan pekerjaan, khususnya bagi kelompok usia muda yang baru lulus sekolah atau perguruan tinggi.

“Dengan pertumbuhan 5,4%, masih banyak lulusan usia 18–20 tahun yang belum dapat pekerjaan. Yang paling pas itu kalau pertumbuhan ekonomi bisa 6,7%, baru lebih gampang cari kerja,” ujar Purbaya dalam agenda economic outlook 2026 di Menara Kompas dikutip Rabu (17/12/2025). 

Baca Juga: BI Dorong Ekonomi Lewat Ekspansi Likuiditas Targetkan Uang Primer Tumbuh Dua Digit

Ia optimistis, jika target tersebut tercapai, generasi muda lulusan baru tak perlu lagi terlalu khawatir kesulitan mencari pekerjaan. Namun, Purbaya juga mengakui, mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bukan perkara mudah, terutama ketika harus mengubah sistem yang sudah lama berjalan. 

“Mengubah sistem enggak segampang yang diperkirakan. Sudah kita dorong, tapi perubahannya masih pelan karena banyak yang terjebak rutinitas,” katanya.

Meski demikian, pemerintah mengklaim memiliki “kunci” untuk mendorong ekonomi tumbuh lebih tinggi dari 5,4% pada beberapa tahun mendatang. Salah satunya dengan mengaktifkan peran sektor swasta secara lebih agresif. 

Selain menjaga likuiditas pasar, Purbaya menyebut pemerintah juga meluncurkan program debt bottlenecking, yang memungkinkan pelaku usaha melaporkan hambatan usaha, mulai dari sengketa hingga regulasi yang menghambat. 

“Kasus-kasus itu akan kita pastikan diselesaikan, termasuk aturan-aturan yang menghambat,” tegas Purbaya.

Dari sisi pengusaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai tantangan ketenagakerjaan Indonesia saat ini bukan hanya soal jumlah lapangan kerja, tetapi kualitas pekerjaan yang tersedia. 

Ia mengingatkan, meskipun tingkat pengangguran terbuka menurun, struktur pekerjaan di Indonesia masih didominasi sektor informal. Akibatnya, banyak pekerja masuk ke sektor gig economy atau usaha mikro dengan penghasilan yang tidak menentu.

“Hampir 59%–60% tenaga kerja kita ada di sektor informal. Ini karena tidak cukup lapangan pekerjaan di industri,” kata Shinta.

Shinta juga menyoroti penurunan daya serap tenaga kerja dari investasi. Ia menjelaskan, tujuh tahun lalu, setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap hampir 4.000 tenaga kerja. Kini, menurutnya angka itu turun drastis menjadi sekitar 1.200 orang.

Perubahan pola investasi dari padat karya ke padat modal, ditambah otomatisasi dan digitalisasi, dinilai telah membuat penyerapan tenaga kerja semakin terbatas. Masalah lainnya adalah ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kualitas sumber daya manusia. 

“Jenis investasi yang masuk sekarang butuh high skill, sementara tenaga kerja kita masih banyak yang low skill,” ujarnya.

Kekhawatiran terbesar Apindo, lanjut Shinta, adalah tingginya pengangguran di kalangan Generasi Z yang mencapai sekitar 67%. Ia mengapresiasi program magang pemerintah yang memberikan subsidi enam bulan bagi mahasiswa, namun menilai upaya tersebut masih perlu diperluas dan diintegrasikan dengan kebutuhan industri.

Selain itu, Shinta menekankan pentingnya perbaikan iklim usaha untuk menarik investasi. Berdasarkan survei, memulai bisnis di Indonesia masih membutuhkan waktu hingga 65 hari, jauh tertinggal dibanding negara tetangga yang hanya membutuhkan satu hari. 

Baca Juga: MK Kabulkan Sebagian Permohonan Uji Materi UU Hak Cipta yang Diajukan 29 Musisi

“Overlapping regulasi dan perizinan masih menjadi tantangan besar bagi investasi,” katanya.

Shinta menegaskan pihaknya di Apindo terus memberi masukan kepada pemerintah, meski kerap menghadapi kendala pada tahap implementasi kebijakan. Menurutnya, kunci keberhasilan ada pada eksekusi dan pengawasan berkelanjutan.

Pada tahun 2026, Apindo menyoroti tiga isu utama yang menjadi tantangan, salah satunya daya beli kelas menengah yang terus tergerus. 

“Kelas menengah turun dari 57 juta orang pada 2019 menjadi 47 juta. Padahal 81% konsumsi rumah tangga berasal dari kelas menengah,” kata Shinta. 

Tanpa penguatan daya beli, ia menilai ekspansi investasi dan penciptaan lapangan kerja akan sulit terwujud.

Senada dengan itu, Ekonom Senior Raden Pardede menegaskan, inti persoalan ketenagakerjaan bukan sekadar investasi, melainkan investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja layak. Ia mengkritik pola pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai terlalu bertumpu pada sektor-sektor padat modal berbasis sumber daya alam.

“Kita terjebak lagi pada sektor yang kapital intensif, tenaga kerja yang diciptakan sangat terbatas,” ujar Raden. 

Padahal, untuk negara dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 5.000, sektor manufaktur masih menjadi sumber utama penciptaan lapangan kerja dalam jumlah besar dan dengan spektrum keterampilan yang luas.

Menurutnya, dengan nilai investasi yang sama, sektor manufaktur mampu menyerap jauh lebih banyak tenaga kerja dibanding sektor padat modal. 

“Manufaktur bisa menyerap lulusan SMK, SMA, bahkan SMP. Kita tidak bisa hanya menciptakan pekerjaan high skill, karena siapa yang menampung kelas menengah ke bawah?” tegasnya.

Baca Juga: BI Masih Buka Ruang Penurunan Suku Bunga di 2026, Ini Kisi-Kisinya

Raden juga mengingatkan risiko meluasnya pekerjaan informal yang tidak layak dan berpotensi memicu masalah sosial. Ia menilai pemerintah perlu bergerak cepat dan masif, terutama dalam menyiapkan Generasi Z agar mampu menciptakan peluang kerja baru melalui teknologi, IT, kecerdasan buatan, hingga bioteknologi.

“Gen Z ini bisa sangat produktif, tapi juga bisa sangat destruktif kalau tidak difasilitasi,” ujarnya. 

Ia mendorong pemerintah untuk segera mengalihkan fokus pembangunan dari ketergantungan pada sumber daya alam menuju sektor berbasis teknologi dan inovasi.

Selanjutnya: Apindo: Indeks Alfa UMP 2026 0,5-0,9 Berat Bagi Pengusaha dan Bisa Sebabkan PHK

Menarik Dibaca: Konsumen Indonesia Kini Lebih Fokus ke Barang Tahan Lama, Ini Temuan Lazada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×