Reporter: Herry Prasetyo, Mimi Silvia, Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Senin, 20 Oktober 2014, Indonesia punya Presiden dan Wakil Presiden baru: Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Pesta rakyat yang digelar setelah pelantikan duet pemenang Pemilihan Presiden 2014 lalu ini menjadi bulan madu singkat Jokowi-JK dengan masyarakat.
Setelah itu, tak ada lagi waktu buat Jokowi-JK bersenang-senang dengan rakyat. Mereka harus langsung tancap gas. Maklum, banyak pekerjaan rumah menumpuk harus segera mereka kerjakan, selesaikan.
Salah satunya: perekonomian Indonesia yang makin melesu, kurang darah, di awal Pemerintahan Jokowi-JK. Jangankan untuk mencapai target yang tertoreh di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar 5,5%; untuk bisa tumbuh 5% saja sudah berat. “Kecenderungan di bawah 5% ada,” kata Menteri Keuangan Chatib Basri.
Dan, Jokowi-JK cuma punya waktu dua bulan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita di atas 5%. Jelas, bukan pekerjaan yang gampang. Tambah lagi, mereka berencana mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di awal pemerintahannya. Sudah pasti ini bakal memukul daya beli yang berujung pada kemerosotan konsumsi rumahtangga. Padahal, konsumsi rumahtangga merupakan bahan bakar utama pertumbuhan.
Meski bisa melewati tahun ini dengan tertatih-tatih, bukan berarti tahun depan pekerjaan Jokowi-JK lebih enteng. Dengan kondisi yang tidak akan jauh berbeda dari tahun ini, plus tantangan yang bertambah, target pertumbuhan ekonomi yang tertulis di APBN 2015 sebesar 5,8% pasti susah dikejar.
Fokus ke desa
Enny Sri Hartati, ekonom Indef, memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,1%–5,2%. Lalu, Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom Danareksa Research Institute, menilai, dengan asumsi ada kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 3.000 per liter, ekonomi bisa tumbuh 5,2% saja sudah bagus.
Kenapa? Dari luar, ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor kita, seperti China, Jepang, dan Eropa, masih melambat. Terlebih lagi, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), akan menaikkan suku bunga.
Dari dalam negeri, salah satu penyebabnya adalah defisit neraca perdagangan. “Yang akan menentukan tercapai atau tidaknya target pertumbuhan 5,8% itu adalah respon kebijakan pemerintah terhadap persoalan-persoalan tadi,” ujar Hendri Saparini, ekonom UI.
Arif Budimanta, anggota Kelompok Kerja APBN Tim Transisi Jokowi-JK, mengungkapkan, Pemerintahan Jokowi-JK sudah menyiapkan beberapa jurus. Misalnya, mempercepat penyerapan belanja pemerintah. Lalu, mengakselerasi proses perizinan investasi. Nantinya, akan ada keputusan atau aturan dari Presiden soal penyederhanaan perizinan. “Yang sudah komitmen dalam dua bulan terakhir tahun ini bisa langsung merealisasikan penanaman modal,” katanya.
Jurus berikutnya, menurut Deputi Tim Transisi Jokowi-JK Eko Putro Sandjojo, adalah mengubah fokus pembangunan ke pedesaan dan usaha kecil. Dengan begitu, kualitas pertumbuhan diharapkan lebih bagus. “Kalau fokus di desa, 1% pertumbuhan bakal menciptakan 500.000 pekerjaan,” ucap Eko.
Cuma, satu yang tak boleh dilupakan, Purbaya menambahkan, laju ekonomi kita yang melambat tak lepas dari efek kebijakan moneter ketat yang diperagakan Bank Indonesia (BI) dan birokrasi yang menghambat pembangunan.
Jokowi-JK benar-benar memulai dari titik nol.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 4 - XIX, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News